Podcast Bersama Dekan FDK UIN Alauddin, DR Firdaus Muhammad: Jangan Peralat Agama untuk Tujuan Politik

  • Bagikan
PUASA DAN POLITIK. Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, Dr Firdaus Muhammad menjadi tamu podcast Harian Rakyat Sulsel, pekan lalu./FAJRI-RAKYATSULSEL

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Selain fokus untuk beribadah, bulan Ramadan juga menjadi momentum bagi politikus untuk masif menggelar sosialisasi ke masyarakat. Ketatnya aturan ditaktisi dengan beragam cara.

Hal itu menjadi pembuka bagi pengamat politik dan kebangsaan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad saat menjadi tamu dalam podcast Harian Rakyat Sulsel, pekan lalu.

Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi ini menyatakan, meskipun peta politik di Sulawesi Selatan masih dalam tahap penjajakan, namun kalangan politikus tak mau tinggal diam dalam memanfaatkan momen Ramadan, tahun ini.

"Dalam dunia politik, politikus mengelola momentum ini dengan sangat dinamis. Beda dengan pejabat dan ASN yang dilarang untuk berbuka puasa bersama," ujar Firdaus.

Menurut Firdaus, sejumlah tokoh politik Sulsel, mulai menampakkan diri ke publik dan menyatakan diri siap untuk bertarung khususnya di pemilihan gubernur. Dia menyebut sejumlah nama seperti Ilham Arief Sirajuddin, Wali Kota Makassar Danny Pomanto, dan mantan Pangdam Hasanuddin Andi Muhammad Mappanyukki.

"IAS itu sudah masif ke daerah-daerah di bulan Ramadan ini, aktif membagun silaturahmi. Harapannya bisa diusung partai. Ada juga Andi Muhammad. Tokoh seperti Adnan Purichta Ichsan Juga punya kans. Termasuk Danny Pomanto, Indah Putri Indriani, dan Taufan Pawe," kata Firdaus.

Tapi, sambung dia, untuk mencapai semua itu disebut perlu kerja keras, utamanya pada pemilihan gubernur 2024. Pada tahapan tersebut akan mendahului pemilihan legislatif. Para politikus akan bekerja lebih keras sebab pada saat akan maju di Pilgub itu harus mengumpulkan jumlah kursi di legislatif yang banyak.

"Misalnya saya mau jadi calon gubernur, harus kerja dulu untuk partai sehingga partai mendapat sejumlah kursi agar mudah untuk diusung," kata dia.

Di pentas politik nasional, kata Firdaus, sejumlah partai politik mulai membagun koalisi-koalisi politik dalam menghadapi pemilihan serentak tahun 2024. Sulsel yang merupakan basis bagi beberapa partai politik tertentu, menjadi rebutan partai-partai nasional yang membidik daerah ini.

Secara geografis, kata dia, Sulsel disebut salah satu daerah yang sangat diperhitungkan dalam kancah politik nasional. Mengingat ada sejumlah tokoh politik Sulsel yang berhasil di Jakarta, mulai dari menjabat sebagai ketua Komisi DPR RI, menteri, hingga menjadi wakil presiden.

"Sulsel ini dianggap secara geopolitik sangat berkontribusi ke Senayan. Jadi kontestasi politik di Sulsel akan melahirkan tokoh-tokoh nasional yang diperhitungkan," ujarnya.

Belum lagi, kata dia, dalam kontestasi politik mendatang akan ada sejumlah partai baru yang akan ikut berkompetisi. Meskipun partai baru tapi, menurut Firdaus, kader atau orang-orang partai tersebut adalah politikus tulen yang sudah berpengalaman.

Salah satu contoh adalah Partai Gelora, meskipun partainya terbilang baru tapi beberapa pengurusnya adalah mantan kader partai PKS yang juga diperhitungkan dalam kontestasi politik, seperti Anis Matta dan Fahri Hamzah. Begitu juga kadernya di Sulsel yang sudah lama bergelut di politik, yakni Samsari Kitta.

"Partai baru tidak bisa diabaikan, dia bisa melalui proses panjang untuk bisa masuk menjadi anggota kontestan politik. Tapi juga buka ancaman serius, karena masih membagun investasi, tapi juga harus diketahui namanya partai baru tapi pemain lama, sebut saja partai Gelora, Anis Matta, Syamsari Kitta kader PKS dan mantan bupati Takalar. Di pusat juga ada Fahri Hamzah," sebutnya.

Apalagi, lanjut Firdaus, karakter pemilih itu tidak bisa diprediksi oleh siapa pun. Maka dari itu politisi termasuk partai politik harus cakap dalam memainkan isu.

Dalam hal ini, Firdaus menyebut, ada hal yang menarik dan sudah dimainkan oleh politisi seperti pembatalan Piala Dunia U-20 di Indonesia yang di balik itu ada pembicaraan politik. Kemudian, status juara Liga 1 PSM Makassar yang sebenarnya merupakan kemenangan semua masyarakat Sulsel namun ikut juga dipolitisasi.

"Begitu juga netizen yang tidak bisa diabaikan. Ini juga menjadi ancaman politik ke depan, partisipasi masyarakat dan sulitnya mengelola isu. Jadi pemilih nanti itu akan menyesuaikan kebutuhannya, jadi kalau partai baru ini bisa memainkan isu bisa mendapat suara," tutur Firdaus.

Namun di balik itu semua, Firdaus berharap politik dikembalikan sebagaimana fungsinya. Sejak zaman Nabi Muhammad, kata dia, politik sudah ada namun itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat.

"Contohlah politik Nabi (Muhammad), politik digunakan sebagai jalan untuk mensejahterakan masyarakat, membela umat, tidak memperalat agama. Nabi menggunakan masjid untuk membicarakan kemaslahtan umat, kebaikan-kebaikan, tidak memperalat agama, tapi politik untuk kebaikan," kata dia.

"Sekarang dilarang buka puasa bersama, Nabi menganjurkan buka puasa. Jadi paradoks-paradoks ini itu karena ada kesalahan-kesalahan dalam tata kelola, kita juga kalau pemerintah katakan ASN dilarang buka puasa aneh saja, tapi ketika dipahami alur pemerintah kita paham. Jadi kita mengharapkan politik jangan sampai jadi alat yang mereduksi nilai-nilai agama atau budaya, kita harus mengembalikan. Sekali lagi politik adalah untuk kemaslahatan agama, masyarakat dan negara, bukan agama diperalat untuk tujuan politiknya, itulah yang mungkin harus direduksi," imbuh Firdaus. (Isak Pasa'buan/C)

  • Bagikan

Exit mobile version