OPINI: Dedolarisasi untuk Keseimbangan Ekonomi dan Politik Global

  • Bagikan
Amir Uskara saat Bertandang di Kantor Harian Rakyat Sulsel

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Era dominasi dolar akan berlalu. Sejumlah negara kini mulai berani melakukan transaksi ekspor-impornya dengan yuan, mata uang Cina. Bahkan Saudi Arabia, yang sekutu dekat AS, sudah berani menggunakan yuan dalam transaksi penjualan minyaknya dengan Tiongkok.

Tak hanya Saudi Arabia. Lima negara yang tergabung dalam aliansi BRICS — Brasil, Afrika Selatan, Rusia, India, dan Cina — mulai melakukan transaksi bisnis di antara mereka dengan mata uang nondolar. Kelima negara ini, tengah berusaha memperkecil ketergantungannya terhadap uang dolar Amerika (USD).

Kita masih ingat, ketika Rusia diembargo ekonominya oleh Barat di awal invasi militernya ke Ukraina, 24 Februari 2022, AS dan sekutunya menggunakan instrumen USD untuk menekan si Beruang Merah. Hasilnya, untuk sementara nilai rubel jatuh. Tapi Rusia segera membalasnya. Negara-negara pengimpor minyak dan gas dari Rusia, terutama Eropa Barat, harus membayar dengan rubel.

Hasilnya luar biasa. Nilai rubel kembali terangkat. Bahkan mata uang sejumlah negara Eropa seperti Inggris, Jerman, dan Belanda terpuruk karena mereka harus bayar impor gasnya dengan rubel. Akibatnya, harga energi di Inggris, Belanda, dan Jerman melambung tinggi. Sampai rakyat ketiga negara sekutu Amerika Serikat (AS) itu demo besar-besaran. Mereka menuntut negaranya tidak campur tangan terhadap perang Rusia-Ukraina.

Kita tahu, 41 persen kebutuhan gas Eropa berasal dari Rusia. Begitu juga 25 persen kebutuhan minyaknya. Rusia adalah negeri dengan cadangan minyak dan gas terbesar di dunia. Sebagian besar ekspor minyak dan gas Rusia adalah ke Eropa, AS, dan Cina.

Balasan Rusia atas tekanan Barat tersebut berakibat fatal. Harga gas dan minyak melambung tinggi di Eropa Barat. Sampai-sampai banyak rumah penduduk Inggris dan Jerman yang tidak menyalakan heater-nya di musim dingin karena kelangkaan gas. Jelas, hal itu sangat menyengsarakan rakyat di musim dingin negara-negara tersebut yang suhunya menyentuh nol derajat Selsius. Kasus di atas menjadi bukti bahwa dolar AS bukan segala-galanya bagi Rusia.

Di pihak lain, utang AS telah membengkak mencapai 31,4 triliun USD. Atau setara Rp 469.517 triliun. Jumlah tersebut sudah melampaui ambang batas keuangan Paman Sam. Menteri Keuangan AS Janet Yellen telah mengingatkan, banyaknya utang AS akan merepotkan neraca keuangannya.

  • Bagikan

Exit mobile version