MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sulawesi Selatan tidak meloloskan Ariella Hana Sinjaya sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI setelah tidak memenuhi syarat (TMS) dukungan yang telah ditetapkan sekitar 3.000 KTP elektronik.
Dengan demikian, Ariella Hana Sinjaya menduga proses verifikasi faktual (Verfak) berjalan tidak sesuai prosedur. "Banyak kejanggalan yang saya temukan dan dapat dibuktikan, khususnya di Kota Makassar dan Kabupaten Maros. Para pendukung saya sudah menyerahkan video dukungan dan saya sendiri yang menyerahkan kepada Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), namun terdata sebagai TMS," bebernya, Minggu (7/5/2023).
"Selain itu, ada teman pribadi saya yang merasa tidak pernah dikunjungi oleh PPS, juga dinyatakan TMS, ada pendukung yang ketika dikunjungi oleh PPS ada saya sendiri yang hadir, namun juga dinyatakan TMS, ada juga team saya sendiri yang dinyatakan TMS," lanjutnya.
Tidak lolosnya Hana sebagai bakal calon DPD, membuat Hana berupaya melakukan sengketa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tetapi dalam proses permintaan data ke KPU Kota Makassar terkesan diperlambat.
"Kuat dugaan bahwa data ini sengaja dihambat agar permohonan sengketa saya terganggu atau tidak bisa diproses. Data baru diberikan setelah masa 3 x 24 jam berlalu, sesuai dengan batas pengajuan permohonan," lanjutnya.
Karena permohonannya, kata dia, telat waktu dikarenakan keterlambatan data dari KPU Kota Makassar, maka dirinya menunggu obyek sengketa selanjutnya agar dirinya bisa kembali memasukkan permohonan.
"Kemudian setelah obyek sengketa tersebut berupa SK KPU RI 301 tertanggal 17 April 2023 terbit, saya bermohon untuk meminta, dan KPU Provinsi Sulawesi Selatan berdalih dengan berbagai alasan menyatakan bahwa belum menerima SK KPU RI tersebut, bahwa SK tersebut baru diterima pada tanggal 19 April 2023," ucapnya.
Meskipun KPU Provinsi Sulsel telat menerima dan memberikan SK KPU RI yang menjadi dasar obyek sengketa, namun dirinya tetap berupaya mengajukan permohonan sengketa.
"Olehnya itu saya telah memasukkan permohonan sengketa melalui SIPS Bawaslu. Notabene saya memasukkannya secara online secara tepat waktu, meskipun berkas fisiknya saya kirim dan ternyata masuk terlambat; Keterlambatan pengiriman ini pun dikarenakan informasi awal yang diberikan kepada saya adalah: Permohonan dapat diajukan melalui Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan," jelasnya.
Atas kejadian ini, lanjut Hana, bagian dari peristiwa menjadi pelajaran bagi para penyelenggara pemilu dalam melayani hak politik warga negara secara patut, dan yang lebih penting lagi agar keadilan pemilu bisa ditegakan secara substantif dari sengketa proses pun sengketa hasilnya.
"Sebagai warga negara yang memiliki hak politik, saya sudah berusaha memperjuangkan hak-hak saya, namun keterlambatan yang entah disengaja ataupun tidak sengaja telah menggagalkan upaya memperjuangkan Hak Politik saya yang tidak terlayani secara profesional oleh beberapa penyelenggara Pemilu," tutupnya. (Fahrullah/B)