"Kita bisa lihat pada putusan MK sebelumnya yakni putusan bernomor 28/PUU-V/2007 tertanggal 28 Maret 2008, kemdian putusan MK nomor 49/PUU-VIII/2010 tanggal 3 September 2010, selanjutnya putusan MK nmor 16/PUU-X/2012 tanggal 08 Oktober 2012, dan terakhir putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 16 Maret 2015," tambahnya.
Lanjut Djusman yang juga Koordinator Badan Pekerja Komite Masyarakat Anti Korupsi (KMAK) Sulselbar menilai, bahkan melihat upaya tersebut bukan lagi semata untuk memperbaiki kewenangan kejaksaan tapi malah bertujuan untuk melemahkan.
"Saya bisa menyatakan bahwa eksistensi kejaksaan dalam kewenangannya menyidik perkara korupsi sudah berjalan baik dan teruji. Khusus di Sulselbar ini terdapat puluhan kasus korupsi yang pernah kami laporkan ke Kejaksaan Tinggi Sulselbar, Alhamdulillah semuanya tuntas dan terbukti, saya ambil contoh beberapa Kasus Besar yang melibatkan pejabat tinggi dan kerugian keuangan negaranya fantastis yakni Korupsi Bank Sulselbar Pasangkayu Mamuju Utara, PT Pares Bandar Madani Pare-Pare, PPS Unhas, Triple CCC, Telkom, Dinas PU Makassar, Bansos Sulsel, Lab UNM, DPRD Soppeng, RSU Soppeng, dan masih banyak lagi yang tersebar di wilayah Sulselbar, termasuk yang dilaporkan jejaring lembaga kami," ujarnya.
"Berdasarkan fakta-fakta tersebut harusnya kewenangan Kejaksaan dalam menyidik perkara Korupsi dikuatkan, bukan malah mengarah dilemahkan. Ini kan hampir sama dengan upaya pelemahan lembaga penegak hukum lainnya," tuturnya.
Pihaknya berharap putusan MK nantinya berkesesuaian dengan harapan masyarakat, bukan berdasar kepentingan oknum tertentu atau pembela koruptor.
Menurut kami kewenangan Kejaksaan berdasar Undang-Undangnya Nomor 16 Tahun 2004 sudah sejalan dengan instrumennya. Bahwa kalau dalam pelaksanaan kewenangannya terdapat penyimpangan hukum, kan itu kasuistik dan bukan berarti harus merubah atau menggugurkan kewenangannya.