MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak tahun 2023 di Kota Makassar semakin tinggi. Dari laporan yang diterima Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Makassar sepanjang tahun ini, terdapat 183 laporan.
Ketua UPTD PPA Kota Makassar, Muslimin mengatakan, ratusan kasus tersebut dominan oleh kasus anak, atau dengan rincian 133 diantaranya adalah kasus anak dan 50 kasus dewasa.
"Yang agak memprihatinkan itu kekerasan seksual terhadap anak, karena faktanya ini justru kasus kekerasan seksual yang dominan diantara semua kasus-kasus yang terkait dengan anak," kata Muslimin saat diwawancara, Selasa (16/5/2023).
Menyusul kasus kekerasan fisik, misalnya perkelahian, termasuk juga angka anak sebagai pelaku kekerasan, pelaku kejahatan. Jadi kami kategorikan juga itu sebagai pelaku kejahatan.
"Misalnya anak yang sudah berkonflik dengan hukum, tapi ada juga anak pelaku kekerasan seperti perkelahian itu kita kategorikan sebagai bentuk kekerasan fisik biasa, bukan anak yang berhadapan dengan hukum," sebut Muslimin.
Tak hanya itu, Muslimin juga membeberkan sepanjang tahun 2023, sebanyak 12 anak terseret masuk ke dalam praktek eksploitasi dan mengarah ke trafficking atau praktek penjualan anak dalam bentuk eksploitasi seksual.
"Saya kira ini agak memprihatinkan ini, setelah kita lakukan asesment, hampir semua itu masih usia SMP, di Makassar. Masih SMP, ini agak mengkhawatirkan kita karena beberapa tahun lalu kasus seperti itu biasanya usia-usia SMA, tapi tahun ini menurun ke SMP," jelasnya.
Dia mengaku, tengah fokuskan pendampingannya diantara klaster kekerasan seksual, pendampingan terhadap kemungkinan adanya penyakit menular seksual, seperti HIVS.
"Jadi semua kasus-kasus yang kita curigai, termasuk anak itu akan segera langsung ada tindakan untuk HIVS. Jangan sampai ada tindakan-tindakan diluar seksual, kalau itu ada, pelaku bisa bertambah, jadi pidananya itu bisa bertambah kalau anaknya/korbannya terkena penyakit menular seksual," sebut Muslimin.
Dia mengatakan, kasus Kekerasan Seksual (KS) dengan eksploitasi terhadap anak agak menarik. Karena dari hasil asesment UPTD PPA Makassar, bahwa itu semua bukan persoalan karena ekonomi semata.
Hal itu berdasarkan dari beberapa kasus yang sudah ia tangani persoalan anak. Dan rata-rata itu mereka banyak juga dari keluarga yang mampu, misalnya hanya sekedar kebutuhan wajib ya itu bisa dipenuhi orang tuanya.
"Tapi inikan gaya hidup anak-anak sekarang berubah, diusia-usia SPM itu sudah kenal dunia hedong, gaya hidup juga yang menjadi pemicu, dan dibantu oleh kemudahan informasi," imbuhnya.
"Kalau yang lalu kan kita dapat bersama dengan yang mengeksploitasi mucikarinya, kalau sekarang susah, karena kalau didapat anak-akan itu mereka berpraktek mandiri," lanjut Muslimin.
Menurut Muslimin, dari kasus tersebut ada juga teman yang jual teman, anak-anak yang jual temannya, ini juga menjadi kekhawatiran. Dan itu yang susah diputus karena sekarang sudah canggih pemanfaatan teknologi.
"Kalau misalnya dieksploitasi dengan digerakkan orang-orang besar diluar itu kan mudah, malah ada yang kemarin pas kita interogasi itu yang cek in kan itu orang lain yang tidak mereka kenal. Misalnya janjian jam begini, orangnya sudah cek ini, dan itu untuk jangka waktu yang lama, orangnya stay disitu bergantian, jadi anak-anak ini selamat pas masuk karena yang cek in adalah orang dewasa," sebutnya.
Yang lebih menariknya lagi, Muslimin membeberkan, ada pasal dalam undang-undang perlindungan anak, ada juga didalam Undang-Undang PPKS, semua yang terlibat, semua yang mengetahui atau menfasilitasi adanya kekerasan seksual itu harusnya ditindak.
"Inikan tidak mungkin pihak hotel tidak tau adanya praktek-praktek begitu, anak sekolah masuk ganti pakaian di dalam hotel masa tidak ditau. Ini mudah-mudahan segera diimplementasikan itu pasal ya, tapi itu tidak bisa hanya UPTD PPA," jelasnya.
Selain itu, faktor keluarga juga sangat mempengaruhi, karena dari data UPTD PPA Makassar, kebanyakan anak-anak itu tidak didalam pengasuhan yang positif di lingkungan keluarga.
"Kebanyakan anak-anak juga tidak didalam pengasuhan keluarga inti, keluarga intikan bapak ibu, tapi dalam kasus ini mayoritas kasus-kasus yang terlibat dalam kekerasan ini itu diasuh oleh keluarga selain keluarga inti, misalnya tante, omnya, neneknya," jelasnya.
Selanjutnya yaitu faktor literasi digital, kebanyakan orang tua rata-rata mereka gagap teknologi, tidak tau anaknya buka apa, padahal anaknya lebih pintar dan sudah jauh lebih mengetahui istilah-istilah di sosial media.
"Inikan mengkhawatirkan sekali, artinya, dukungan, lingkungan itu harus ada, kebanyakan yang di kota ini bisa saja kita tau kalu ini praktek begini, tapi bagaimana menghentikan itu. Makanya sekarang kita bangun sistem perlindungan anak berbasis masyarakat, makanya kita permudah," terangnya.
Pasalnya, kata Muslimin, itu yang mungkin membuat kasus di Makassar ini tinggi sekali karena banyaknya laporan. Ini tidak pernah berhenti laporan, masuk terus.
"Walaupun banyak kasus yang masuk itu belum tertangani, karena korbannya hanya sebatas konsultasi, tiap hari, karena, saya kemari saja fokus liat WA masuk itu semua kekerasan seksual, namun pas kita penjangkauan itu, mereka tidak terbuka. Banyak sekali, terutama di klaster pelajar tinggi mahasiswa. Itu semua kalau kami tindak lanjuti, tapi kan harus ada konsep kalau doa dewasa, harus ada persetujuan untuk didampingi," kuncinya. (isak/B)