MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Berlakunya Pasal 168 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu secara langsung telah mereduksi kedudukan partai politik dari posisinya selaku kontestan pemilu.
Hal itu berkaitan dengan Perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 ihwal pengujian materiil Pasal 168 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Permohonan pengujian UU Pemilu ini diajukan oleh Demas Brian Wicaksono (pengurus Partai PDI Perjuangan (PDI-P), Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, serta Nono Marijono.
Berbagai pihak memberi respons, salah satunya akademisi asal Makassar, Dr Arif Wicaksono bahwa proporsional terbuka atau tertutup harus mengedepankan situasi tetap aman dan damai.
"Pesan saya sederhana saja, ikuti sistem yang sudah ditetapkan, baik itu sistem yang terbuka maupun sistem yang tertutup, untuk masalah-masalah yang kemudian muncul setelah ditetapkan itu nantinya akan menjadi mekanisme internal partai. Tapi yang paling baik adalah ketika caleg sudah siap dengan sistem apapun sehingga apa yang diharapkan dari pemilu dapat terwujud," kata Arif.
Ia menjelaskan bahwa sistem yang terbuka seperti ini punya nilai yang baik juga sehingga demokrasi kemudian berjalan. Di mana proporsional terbuka berdampak cukup positif pada internal partai dan kaderisasi.
"Sistem proporsional terbuka ini akan memudahkan potensi politik uang berkembang, karena caleg yang jumlahnya besar ini kemudian itu harus bertarung bukan hanya dengan internal partainya tapi juga dari eksternal partai. Kita lihat saja nanti ya terbuka atau terbuka," terangnya.
Selain itu, Akademisi UIN Alauddin Dr Firdaus Muhammad turut menanggapi bahwa salah satu isu politik yang berkembang saat ini adalah proporsional terbuka atau tertutup.
Ia berpendapat bahwa keduanya punya plus minus. Jika tertutup lebih menguntungkan partai, dalam hal ini partai memiliki fungsi menentukan dan mengambil kebijakan, jadi kekuatan partai menjadi sangat dominan.
Sementara untuk proporsional terbuka memberi ruang terbuka bagi caleg-caleg untuk bertarung bebas, sebab yang dihitung adalah jumlah suara, bukan urutan nomor urut.
"Kalau saya rasa perlu kepastian agar tidak menimbulkan kebingungan. Kalau tiba-tiba diketuk palu bahwa tertutup bisa saja ada caleg yang mengundurkan diri, jadi orang mencari suara untuk partai jadi orang berebut nomor urut. Jadi saya kira perlu ada kepastian," terangnya.
Tak hanya itu, Dr Aswar Hasan menerangkan bahwa lembaga negara yang mempunyai otoritas dalam memutuskan terkait sistem pemilihan proporsional terbuka atau proporsional tertutup harus bisa dihormati dan dihargai setiap warga negara.
"Terutama bagi pihak yang terkait karena itu merupakan bentuk kesadaran kita dalam berwarga negara," tuturnya.
Namun setidaknya, kata Aswar, keputusan tersebut mencerminkan aspek terutama sejauh mana Mahkamah Konstitusi (MK) konsisten secara objektif dalam menafsirkan konstitusi negara.
"Apa putusan MK tersebut bisa memberi rasa keadilan kepada warga negara dan menjadi garansi atas kepastian hukum, apakah proses negara dan hukum dalam pengambilan keputusan logis dan rasional, putusan tersebut dilakukan secara independen dan mengedepankan prinsip netralitas, dan terakhir mengedepankan prinsip transparansi," pungkasnya.
Namun ketiga akademisi itu sama-sama mendorong agar seluruh partai politik mengedepankan komitmen menjaga ketertiban dan kedamaian negara dalam kondusifitas tahun 2024. (*)