JAKARTA, RAKYATSULSEL - Bank Indonesia (BI) terus melanjutkan kebijakan makroprudensial yang longgar dan akomodatif untuk mendorong penyaluran kredit perbankan dan pembiayaan bagi dunia usaha.
Seperti diketahui, makroprudensial adalah kebijakan Bank Indonesia (BI) yang ditetapkan dan dilaksanakan untuk mencegah dan mengurangi risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan dalam menjaga SSK (Stabilitas Sistem Keuangan), serta mendukung stabilitas moneter dan stabilitas sistem pembayaran.
Untuk itu, kebijakan makroprudensial longgar ini mencakup rasio konversi terkait perbankan sebesar 0%, rasio intermediasi makroprudensial pada kisaran 84%-94% dan rasio penyangga likuiditas makroprudensial sebesar 6%.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebut, kondisi likuiditas perbankan tetap dijaga lebih dari cukup dengan rasio alat likuid per Dana Pihak Ketiga (DPK) yang sekarang memiliki nilai lebih dari 29%.
“Ini tidak hanya menjaga stabilitas sistem keuangan, tapi juga mendorong perbankan terus menyalurkan kredit dan pembiayaan,” ujar Perry di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Lebih dari itu, BI mendorong kredit kepada UMKM, Kredit Usaha Rakyat dan Kredit Pembiayaan Hijau. Program ini terus gencarkan mulai 1 April 2023 lalu dengan besaran total insentif makroprudensial yang dapat diterima bank ditingkatkan dari sebelumnya, dari yang awalnya paling besar 200 bps menjadi paling besar 280 bps.
Adapun total insentif tersebut terdiri dari insentif atas kredit pembiayaan kepada sektor prioritas paling tinggi sebesar 1,5%, insentif atas penyaluran KUR, dan kredit UMKM meningkat dua kali lipat menjadi paling tinggi sebesar 1%, serta insentif makroprudensial untuk penyaluran kredit dan pembiayaan hijau paling tinggi 0,3%.
Selain itu BI juga merelokasi penerima insentif makroprudensial, khususnya kepada sektor-sektor yang belum pulih seperti di bidang transportasi, hotel dan restoran, serta industri kulit dan alas kaki. (*)