MAKASSAR, RAKYATSULSEL - “Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Inna al-hamda wa al-ni’mata laka wa al-mulk laa syarika laka.” (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).”
Orang yang ditakdirkan Allah untuk menunaikan rukun Islam kelima yakni berhaji atau umrah, maka sesungguhnya dia telah mendengar panggilan Allah sekaligus dia menjawab dengan ucapan “labbaika”, baik ketika masih di alam arwah maupun dia sudah lahir di alam dunia. Al-Dailamy menjelaskan bahwa dalam pandangan Ibnu Abbas tentang ayat “wa adzdzin fin naasi bil hajj….” Nabi Ibrahim naik ke Jabal Qubais seraya berkata: “Wahai sekalian manusia telah diwajibkan haji kepada kalian” seruan Ibrahim ini dengan kehendak Allah sampai ke seluruh alam hingga ke alam rahim kandungan ibu dan tulang sulbi laki-laki.
Barang siapa menjawabnya dengan kalimat “labbaika” baik ketika masih di alam rahim maupun di dunia, maka dia dijamin akan menunaikan haji atau umrah. Dari pandangan Ibnu Abbas inilah, sehingga umat Islam meyakini “haji itu panggilan”.
Talbiyah menurut bahasa berasal dari kata “labba” artinya pemenuhan, jawaban, pengabulan terhadap sebuah panggilan dengan niat dan ikhlas. Menurut istilah, talbiyah berarti ungkapan kalimat yang diucapkan untuk memenuhi panggilan Allah SWT dalam keadaan ihrām haji atau umrah.
Hukum membaca Talbiyah di kalangan ulama Fiqhi terdapat perbedaan pendapat. Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat sunnat hukumnya; Imam Abu Hanifah, hukum membaca talbiyah statusnya syarat sah ihrām. Sedangkan Imam Maliki memberi status hukumnya wajib.
Kalimat Talbiyah mulai dibaca setelah niat ihrām dari miqat, baik ihram haji maupun ihram umrah. Sementara berakhirnya bacaan talbiyah adalah ketika orang yang berumrah hendak memulai tawaf (di pelataran masjid Haram); Sedangkan bagi jemaah haji berakhirnya selesai melontar Jamrah Aqabah tanggal 10 Dzulhijjah.
Jemaah laki-laki membaca talbiyah dengan suara keras, sedangkan perempuan dengan suara pelan. Dalam konteks kehidupan, esensi talbiyah bukan sebatas mengejar pahala dan memperoleh fadhilah berhaji dan berumrah, namun jauh dari itu sebab berhaji di samping sakral juga penuh pengorbanan.
Pengorbanan harta benda; Pengorbanan kesabaran waiting list yang puluhan tahun; Pengorbanan qalbu, pikiran dan tenaga; dan Pengorbanan kasih sayang bersama keluarga. Oleh karena itu, talbiyah harus diisi dengan berbagai hakikat dan esensi.
Imam Ghazali kitab Ihya Ulum al-din, ketika membahas rahasia haji, beliau mengajarkan “tajarrud” yakni di samping berkomitmen melaksanakan amalan-amalan kebaikan, juga harus meninggalkan atau melepaskan berbagai beban kehidupan yang dapat menghalangi dekat dengan Allah swt, berupa perilaku dhalim dan maksiat.
Kenapa itu menjadi penting karena menurut al-Ghazali, seluruh kondisi dan spiritual haji pada hakikatnya penggambaran kondisi dan spiritual keadaan akhirat (fainna kulla ahwal dalil ahwal al-akhirah).
Sedangkan Ibnu al-Qayyim al-Jauziy ketika memberikan hasyiah atas syarah hadis Bukhari-Muslim bab Talbiyah, Ibnu Qayyim menyebutkan depalan makna, yang saya kontekkan sebagai “delapan esensi” talbiyah yaitu, pertama esensi kualitas pemenuhan panggilan (ijabah laka ba’da ijabah). Kedua, esensi ketundukan dan ketawadluan, bahkan kehinaan (inqadtu laka wasa’at nafsiy laka khodhi’atan dzalilatan).
Ketiga, esensi keistiqomahan dalam ketaatan (anaa muqiim alaa tha’atika mulazim lahaa). Keempat, esensi fokus dalam menuju Allah (muwaajihatuka bimaa tuhibbu mutawajjih ilaika). Kelima, esensi kualitas mahabbah (hubban laka ba’da hubb). Keenam, esensi kualitas kemurnian pikiran dan qalbu (akhlashtu lubby wa qalby laka).
Ketujuh, esensi kualitas kondisi dan lapang dada dalam menghadap Allah (fii haal waasi’ah munsyarih al-shodri liqabuul da’watuka wa ijaabatuhaa); dan kedepalan esensi kualitas bertaqarrub (iqtiraaban ilaika ba’da iqtiraab kamaa yataqarrabu al-muhibbu).
Hari ini, umat Islam Indonesia (221 ribu) sedang dalam tahapan operasional haji. Ada yang masih bersiap-siap pemberangkatan di daerah masing-masing, ada yang berada di Asrama haji, ada yang di Madinah al-Munawarah, dan yang sudah berada di Makkah al-Mukarramah. Di sisi lain juga bangsa Indonesia juga sedang berada dalam “miqat” pada awal tahapan Pemilu 2024.
Jika suasana kebatinan haji luar bisa ditunjukkan oleh petugas haji terhadap Jemaah haji. Bagaimana jemaah haji memperoleh layanan, bimbingan dan perlindungan dengan penuh kasih sayang, terutama bagi jemaah lansia. Maka sejatinya, makna dan esensi talbiyah itu bisa dipraktekkan dalam hajatan demokrasi Pemilu di Indonesia.
Saling menghormati antarpartai; saling memuliakan antarkontestan; dan saling bertawadhu dalam berkompetisi.
Hidup memang kompetisi, berfastabiqul khairat apalagi dalam politik. Berpolitik yang baik bukan berarti bagaimana harus bisa mengalahkan dan menjatuhkan lawan (bukan musuh), namun sejatinya berpolitik adalah bagaimana menerapkan strategi terbaik untuk memperoleh kesuksesan untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama.
Ber-tajarrud dalam berpolitik adalah menghindari perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan kepatutan berbangsa: menjauhkan kegaduhan, menjauhkan saling menyindir, menjauhkan penyebaran fitnah dan hoax, menjauhkan agama sebagai amunisi dan alat politik praktis, dan menjauhkan dari perilaku yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Semoga dengan esensi talbiyah, bangsa Indonesia tetap damai, sejahtera dan maju. Amin. (*)