Media Sosial dan Pemilih Milenial

  • Bagikan

Oleh: Abdul Rahman

Fenomena generasi milenial merupakan topik yang banyak dibahas karena dianggap unik. Generasi ini tidak bisa lepas dari teknologi komunikasi dan informasi khususnya internet. Namun sering juga dianggap sebagai generasi yang paling tidak peduli dengan persoalan politik, di antaranya menjadi warga negara yang tidak ikut menggunakan hak pilih mereka dalam Pemilu.

Padahal generasi milenial memiliki potensi karena jumlahnya besar serta sebagai penerus pemimpin bangsa sehingga partisipasi politik mereka sangat dibutuhkan.

Sementara itu, telepon selular adalah media yang paling banyak digunakan saat terhubung internet dengan durasi 5-10 jam/hari untuk berkomunikasi dan mencari informasi. Media sosial dan grup obrolan online adalah media digital yang juga paling dominan digunakan. Sementara untuk konten digital yang paling sering diakses adalah film, pesan teks dan video digital.

Generasi milenial menganggap bahwa topik politik sebagai topik yang biasa saja. Partisipasi politik dari generasi milenial juga cenderung rendah. Terutama untuk menjadi anggota atau pendukung aktif partai politik, ikut melakukan unjuk rasa nyata mendukung/menolak kebijakan pemerintah, serta menghubungi pemerintah/politisi/pejabat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Meski demikian mayoritas dari mereka tetap akan memberikan suara dalam Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden Indonesia tahun 2024.

Pemilu 2024 tidak bisa dilihat hanya dari partisipasi anak muda. Sebab, hal ini berkelindan dengan tanggung jawab semua pihak. Pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, terlebih penyelenggara pemilu.

Pemilih muda (generasi Z dan milenial) kerap kali menjadi fokus para pihak saban pemilu menjelang. Mungkin karena proporsi pemilih muda (berusia 17-39 tahun) diprediksi mendekati 60 persen (survei CSIS, 2022) dan berpotensi menjadi penentu kemenangan pada kontestasi politik di 2024. Bahkan, angka tersebut sering dihubung-hubungkan sebagai muasal masa depan demokrasi Indonesia akan membaik.

Berdasarkan data yang dilansir dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang menetapkan 204.807.222 warga negara sebagai pemilih atau masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024. Menariknya, separuh lebih pemilih adalah anak muda, yakni generasi Z dan milenial.

Sebanyak 46.800.161 atau 22,85 persen pemilih merupakan generasi Z. Sebutan generasi Z merujuk pada orang yang lahir mulai tahun 1995 hingga 2000-an. Sebanyak 46.800.161 atau 22,85 persen pemilih merupakan generasi Z. Sebutan generasi Z merujuk pada orang yang lahir mulai tahun 1995 hingga 2000-an.

Jika ditotalkan, pemilih dari generasi Z dan milenial ini berjumlah 113.622.550 orang. Jumlah pemilih muda ini mendominasi karena mencapai 56,45 persen dari total pemilih.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) masing-masing telah melaksanakan program yang nyaris sama. Program tersebut menyasar pemilih muda kebanyakan. KPU dengan program Relawan Demokrasi (Relasi) sejak 2014, sementara Bawaslu mengagas program Sekolah Kader Pengawas Partisipatif (SKPP) sejak 2018.

Tujuannya demi meningkatkan partisipasi pemilih hingga memastikan peningkatan kualitas pemilu dalam hal mewujudkan demokrasi beritegritas dan substansial. Sayangnya, cita-cita luhur tersebut tidak didukung dengan kontinuitas dan konsistensi. Desain program tersebut sepertinya tidak dirancang dengan serius.

Pembentukan relasi masih bersifat momentum, hanya ketika menjelang pemilu atau pilkada. Sementara SKPP, sejak digagas hingga mencetak ribuan kadernya, belum juga menunjukkan pengaruh signifikan untuk mendorong kualitas dan kesadaran politik pemilih muda.

Di sisi lain, di era digitalisasi saat ini kerap kali ditemukan anak muda masih sangat terdampak dengan rutinitas yang beyond dari isu politik. GridGames (2021) menemukan bahwa sekitar 71 persen dari total populasi milenial suka bermain gim video dan 81 persen dari generasi Z adalah gamers.

Sementara itu, jika dikomparasikan, Center for Strategic and International Studies (CSIS) mencatat, pada 2022, anak muda yang gemar dalam aktivitas politik menggunakan sosial media untuk menyampaikan pendapatnya ada 17,7 persen. Kemudian hanya 6,0 persen yang menyuarakan secara langsung atau tatap muka.

Selain jauh dari diskursus politik, problem partisipasi anak muda tidak berdiri tunggal. Banyak faktor yang mendorongnya. Mulai dari kinerja penyelenggara pemilu, regulasi pemilu, individu penyelenggara pemilu yang kurang kompeten, serta kerja-kerja pendidikan pemilih yang tidak berkelanjutan. Akibatnya, partisipasi publik kurang, bahkan terancam hilang.

Seturut dengan itu, Komite Independen Sadar Pemilu (KISP) menemukan 17 persen pemilih milenial menganggap bahwa kendala yang mereka alami pada Pemilu 2019 adalah kurangnya informasi yang diberikan oleh penyelenggara pemilu.

Ibarat obat, pendidikan pemilih sangat mujarab untuk memproteksi masalah laten elektoral. Misalnya, masih marak politik uang (money politic), politisasi indentitas, dan politisasi SARA. Tanggung jawab untuk mendesiminasikan pendidikan pemilih tak boleh parsial.

Pendidikan pemilih harus di-trigger oleh penyelenggara pemilu sebagai the guardian of democracy meskipun dalam pendidikan politik wajib dilakukan oleh partai politik (UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik). Selain jauh dari diskursus politik, problem partisipasi anak muda tidak berdiri tunggal. Banyak faktor yang mendorongnya.

Itu sebabnya, program pendidikan pemilih wajib dikolaborasikan dengan organisasi masyarakat sipil yang kredibel dan ahli dalam kerja-kerja dimaksud. Hal ini dilakukan agar kemudian penyelenggara pemilu memiliki porsi lebih pada wilayah administrasif dan lebih efektif mendorong kepastian hukum pemilu.

Artinya, angka mayoritas pemilih muda belum tentu bisa menggaransi masa depan pemilu lebih demokratis. Sementara itu, secara bersamaan, masih banyak kebijakan yang kerap justru mengabaikan hak-hak dan aspirasi pemilih muda.

Bisa dibilang kehidupan seseorang tidak terlepas dari pengaruh media sosial. Hal ini terbukti dari banyaknya penggunaan smartphone dan media sosial itu sendiri. Mulai dari Facebook, Instagram, Twitter, dan aplikasi komunikasi lainnya. Tidak heran jika media sosial ikut memberikan sejumlah pengaruh terhadap pemilihan umum.

Pemilu yang dilakukan di era sekarang lebih banyak mengusung tema online. Bayangkan saja, masyarakat bisa langsung tahu siapa yang akan menang padahal suara masih dalam tahap penghitungan. Namun, dari sinilah semua informasi terkait pemilihan umum bisa didapatkan dengan mudah.

Meski di era sekarang penggunaan smartphone sudah meningkat pesat, tapi masih ada sejumlah wilayah yang mungkin belum mendapatkan akses internet. Alhasil, media sosial hanya berpengaruh kepada orang-orang yang sudah menggunakannya saja. Bahkan, tidak semuanya akan menggunakan sosial media yang sama.

Dampaknya, penggunaan media sosial bisa memberikan sejumlah pengaruh yang positif dan juga negatif kepada penggunanya. Hal ini tergantung dari sikap penggunanya dalam menyikapi setiap masalah atau momen yang terjadi. Meski begitu, sosial media tetap memberikan sejumlah pengaruh positifnya dalam pemilihan umum.

Pertama, media sosial bisa digunakan sebagai sarana strategi kampanye. Karena perkembangan zaman yang menuntut untuk menggunakan teknologi, maka strategi pun lebih efektif dengan sistem online. Namun, tetap saja calon kandidat harus melakukan strategi secara offline terhadap wilayah yang tidak bisa menggunakan akses internet.

Tujuannya selain bisa dikenal lebih banyak masyarakat, tapi juga akan berhasil mendapatkan banyak suara. Apalagi jika Anda mampu menarik simpati masyarakat melalui tindakan nyata dan bukan hanya janji saja. Saat ini strategi kampanye pun bisa dilakukan dengan banyak cara. Terlebih jika calon kandidat mempunyai usaha sampingan.

Tentunya cara ini akan membawa keuntungan yang banyak. Selain dekat dengan masyarakat melalui usaha sampingan, masyarakat juga bisa menilai apakah Anda pantas untuk menjadi pemenang atau tidaknya. Selain itu, strategi kampanye bisa dilakukan melalui postingan yang bermanfaat dan membangun hubungan lebih dekat dengan followers.

Kedua, pengaruh media sosial yang positif bisa membawa calon kandidat dalam melakukan inovasi baru. Pasalnya, untuk bisa menarik perhatian masyarakat dibutuhkan inovasi yang berbeda. Selain membuat masyarakat percaya tapi juga yakin jika memilih Anda bukanlah sesuatu yang salah dan akan disesali nantinya.

Melakukan inovasi baru bisa melalui meminta pendapat kepada followers terkait apa yang diharapkan saat Anda menang pemilu nantinya. Cobalah untuk memilih merealisasikan beberapa jawaban masyarakat untuk bisa mendapatkan kepercayaannya. Karena tidak sedikit calon yang hanya memberikan janji manis dan kemudian lupa akan tanggung jawabnya.

Ketiga, media sosial bisa memberikan pengaruh kepada masyarakat terkait pembentukan opini. Saat melihat calon kandidat yang aktif mempromosikan diri secara positif, masyarakat pun pastinya akan merasakan hal serupa. Hal ini balik lagi dengan niat dan tujuan calon saat mendaftarkan menjadi calon pemilu.

Tidak sedikit yang memanfaatkan jabatan tersebut untuk sesuatu yang negatif. Hal inilah yang membuat masyarakat terkadang merasa kecewa. Nah, melalui media sosial, masyarakat bisa menilai secara langsung. Apalagi jika calon kandidat sering melakukan live untuk menyapa masyarakatnya atau membagikan materi tertentu.

Dengan begitu, masyarakat bisa mengetahui pengaruh media sosial terhadap calon mengarah ke arah positif atau tidaknya. Selain itu, tindakan tersebut tentunya menjadi jembatan untuk mengenal dan lebih dekat kepada masyarakatnya. Tentunya para followers akan memilih kandidat yang dekat dengannya dibandingkan hanya sekadar tahu nama saja.

Setelah melihat pengaruh positif dari media sosial dalam pemilihan umum, sekarang Anda bisa melihat pengaruhnya secara negatif. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, media sosial bisa menjadi negatif di mata penggunanya jika tidak bisa menyikapi masalah yang ada.

Salah satu yang membuat media sosial sebagai media yang negatif karena banyaknya muncul berita yang negatif dan ternyata berita tersebut hoax. Selain mencemarkan nama baik calon kandidat, cara tersebut bisa membuat kepercayaan masyarakat menjadi menurun. Bahkan, beberapa orang langsung kehilangan respect karenanya.

Tidak heran jika media sosial dianggap sebagai pisau bermata dua yang mungkin bisa saja menyerang pengguna itu sendiri. Terkadang, saat ada berita miring yang hanya dibuat-buat oleh netizen, masyarakat yang mudah percaya akan langsung membagikan konten tersebut. Alhasil, berita hoax akan terus meningkat pesat tanpa bisa dihentikan.

Meski dalam beberapa kasus ada klarifikasi dan nantinya ada bukti bantahan bahwa berita tersebut tidak benar, masyarakat yang sudah tahu tentunya akan kecewa. Bahkan, saat tahu fakta yang sebenarnya, beberapa orang malah tidak mau mempercayai lagi. Tentunya hal ini sangat merugikan calon kandidat yang sebenarnya bisa menang menjadi kalah.

Pengaruh negatif lainnya dari penggunaan media sosial terhadap pemilihan umum adalah netizen akan terus mencari berita terkait calon kandidat tersebut. Jadi, saat calon sudah melakukan suatu kesalahan, maka netizen akan mencari kesalahan lainnya dari calon tersebut. Bahkan, bisa berujung ke keluarga calon yang sebenarnya tidak ada sangkut paut.

Tidak heran jika dunia pemilihan umum di era sekarang terbilang kejam. Hal ini karena netizen tidak main-main dalam mencari kesalahan calon kandidat. Terlebih jika mereka terlalu mengagungkan suatu calon atau partai. Alhasil, partai lainnya akan menjadi imbas dari oknum yang tidak menggunakan media sosial secara bijak.

Sebenarnya, pengaruh media sosial terhadap pemilihan umum itu balik lagi ke setiap penggunanya. Bagaimana cara mereka bersikap menentukan seberapa kuat pengaruh tersebut saat terjadinya pemilihan umum. (*)

Penulis Adalah Redaktur Politik Harian Rakyat Sulsel

  • Bagikan