Apa yang Terjadi Pada Dunia Jika Tidak Ada Nyamuk ?

  • Bagikan

RAKYATSULSEL - Nyamuk mungkin menjadi salah satu hewan yang kerap mengganggu kehidupan manusia, mulai dari bunyinya di telinga hingga gigitannya bikin gatal, sampai penyebaran penyakit mematikan. Namun, bagaimana jadinya jika dunia tanpa hewan ini?

Dilansir dari USA Today, ada 3.500 spesies nyamuk di seluruh dunia, tetapi hanya beberapa di antaranya yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia.

Salah satu penyakit mematikan yang dibawa oleh nyamuk adalah malaria. Nyamuk malaria atau Anopheles stephensi diketahui menginfeksi 247 juta orang setiap tahun dan membunuh hampir sejuta orang.

Selain itu, ada juga nyamuk Aedes aegypti yang menjadi sumber penyebaran penyakit demam kuning, demam berdarah, dan Zika.

Sederet penyakit berbahaya yang dibawa oleh nyamuk membuat beberapa orang berandai-andai bagaimana jika serangga kecil ini dihapus dari muka Bumi.

Harap diingat, hewan yang ada di Bumi memiliki tempatnya masing-masing di ekosistem dan rantai makanan, baik sebagai mangsa maupun sebagai predator. Absennya salah satu dari mereka dalam rantai tersebut akan berdampak pada hewan-hewan yang berkaitan langsung dengannya.

Nyamuk di lingkungan berperan sebagai mangsa bagi banyak binatang seperti ikan, burung, kadal, katak, kelelawar, dan beberapa binatang lain. Hilangnya nyamuk akan berdampak pada pasokan makanan sejumlah hewan tersebut yang berimplikasi dengan keberlangsungan hidupnya.

Selain itu, nyamuk juga berperan dalam penyerbukan ribuan tanaman.

Segitu gentingnyakah peran mereka?

Pertama, dalam hal rantai makanan. Menurut jurnal Nature pada 2010, tidak ada hewan yang 100 persen bergantung pada nyamuk sebagai sumber makanan.

Hal itu dibuktikan lewat sebuah studi di rumah burung pemakan serangga di Camargue, Prancis. Peneliti menemukan bahwa burung menghasilkan rata-rata dua anak per sarang setelah penyemprotan nyamuk. Sebelumnya, mereka menghasilkan tiga per sarang.

Insektivora atau pemakan serangga lainnya mungkin tidak merindukan nyamuk sama sekali: kelelawar kebanyakan memakan ngengat, dan kurang dari 2 persen isi usus mereka adalah nyamuk.

"Jika kamu menghabiskan energi," kata ahli entomologi medis Janet McAllister dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di Fort Collins, Colorado, "apakah Anda akan makan filet-mignon (irisan tipis daging) ngengat 22 ons atau hamburger nyamuk 6 ons?"

Dengan banyaknya pilihan menu, peneliti menilai sebagian besar pemakan serangga tidak akan kelaparan di dunia yang bebas nyamuk.

Kedua, penyerbukan. Ahli entomologi Janet McAllister mengatakan nyamuk sebenarnya tidak terlalu berperan penting pada penyerbukan tanaman yang banyak digunakan manusia.

Pada 1974, ahli ekologi John Addicott dari University of Calgary, Alberta, Kanada, menerbitkan temuan tentang peran jentik nyamuk dalam ekosistem air tanaman kantong semar (Sarracenia purpurea) di pantai timur Amerika Utara.

Anggota komunitas itu adalah spesies nyamuk Wyeomyia smithii dan pengusir hama (Metriocnemus knabi), bersama dengan mikroorganisme seperti rotifera, bakteri, dan protozoa (hewan bersel satu).

Ketika serangga lain tenggelam di air, pengusir hama mengunyah bangkai mereka. Metriocnemus kemudian menghasilkan limbah yang memberi makan larva nyamuk. Hal ini membuat nutrisi seperti nitrogen tersedia untuk tanaman.

Dalam hal ini, menghilangkan nyamuk dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Namun demikian, efek yang lebih luas terhadap tanaman tidak diketahui.

Pembasmian efektif

Meski begitu, pemberantasan besar-besaran terhadap nyamuk bakal jadi PR besar. Tak cuma dalam bentuk produk-produk anti nyamuk, rekayasa genetik hingga penggunaan mikroba dilakukan. Namun, semuanya terbentur efektivitas.

Misalnya, ilmuwan Inggris pernah mengembangkan teknik rekayasa genetik yang memungkinkan berkurangnya populasi nyamuk Aedes aegypti.

Ahli ekologi Universitas Negeri Illinois Steven Juliano mengatakan pemusnahan nyamuk secara global mungkin agak sulit. Namun, katanya, penelitian tersebut cuma berpeluang untuk mengurangi populasi nyamuk secara lokal.

Selain itu, sejumlah peneliti di Australia juga membuat penelitian untuk mengurangi populasi nyamuk Aedes aegypti dengan melibatkan bakteri bernama Wolbachia.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan penurunan populasi nyamuk hingga 80 persen pada tiga lokasi penelitian di Australia. Penekanan populasi di kota Mourilyan dilaporkan memberi hasil yang paling memuaskan, dengan pengurangan populasi nyamuk hingga 97 persen di tahun berikutnya.

"Pemusnahan seluruh spesies secara global, menurut saya, agak tidak masuk akal," kata Steven Juliano, ahli ekologi Universitas Negeri Illinois, kepada Smithsonian.

"Saya pikir itu berpeluang besar untuk mengurangi populasi lokal, bahkan mungkin memusnahkan spesies di suatu lokasi," tandasnya. (USA Today/Raksul)

  • Bagikan

Exit mobile version