Implementasi Sistem Pemerintahan Kerajaan Wajo sebagai Solusi dari Permasalahan Politik di Indonesia

  • Bagikan

Oleh: Maisya Kartika Mahasiswa Sastra Minangkabau

Ir. Soekarno pernah berkata “Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta. Masa yang lampau sangat berguna sebagai kaca benggala daripada masa yang akan datang".

Dengan kalimat yang dilontarkan oleh Ir. Soekarno tersebut dapat dijadikan sebagai pedoman atau bahan acuan terhadap sistem pemerintahan yang dijalankan oleh negara Indonesia pada zaman dahulu maupun zaman sekarang. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial dimana pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif didasarkan pada prinsip “checks and balances”. Ketentuan ini termaktub dalam konstitusi, namun masih diperlukan penyempurnaan, terutama dengan menetapkan batasan-batasan yang jelas tentang kewenangan ketiga instansi pemerintah tersebut.
Secara teori kewenangan lembaga negara mengarah pada sistem pemerintahan presidensial di Indonesia, namun pada praktiknya lembaga negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak mencerminkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia mengikuti pembagian kekuasaan yang berlaku dalam sistem presidensial. Oleh karena itu, ketentuan yang dilaksanakan berdasarkan UUD 1945 memerlukan upaya tambahan agar berfungsi secara optimal, konseptual dan praktis.

Bila kita berkaca pada sistem pemerintahan pada zaman kerajaan salah satunya Kerajaan Wajo yang memiliki persamaan dan perbedaan dengan sistem pemerintahan Indonesia pada zaman sekarang ini, Kerajaan Wajo yang sekarang berganti nama menjadi Kabupaten Wajo, salah satu wilayah yang didiami suku Bugis, merupakan salah satu dari 23 wilayah administratif Provinsi Sulawesi Selatan yang terletak di tengah. Letak wilayah Wajo memanjang hingga ke Laut Tenggara dan ujungnya berupa selat. Luasnya kurang lebih 2.506,19 km2 atau 4,01% dari luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Terdapat batas wilayah yang dimulai dari utara yaitu; Kabupaten Luwu dan Sidrap, di selatan Kabupaten Bone dan Soppeng, di timur Kabupaten Teluk Bone, dan di barat Kabupaten Soppeng dan Sidrap. Pada wilayah di atas, Kabupaten Wajo terbagi menjadi 14 kecamatan, 48 desa dan 128 desa (BPS Kabupaten Wajo, 2015:5).

Sistem pemerintahan pada masa Kerajaan Wajo dapat dilihat dan dipelajari dalam teks Wajo kuno Lontarak Akkarungeng Wajo, di mana teks tersebut menggambarkan profil dan gaya kepemimpinan raja-raja yang memerintah Kerajaan Wajo. Naskah Lontarak Akkarungeng Wajo menggambarkan sistem pemerintahan Kerajaan Wajo serta keberhasilan dan kegagalan raja-raja yang menduduki tahta Kerajaan Wajo. Banyak jenis informasi yang dapat dikumpulkan dari naskah Lontaraq Akkarungeng Wajo. Salah satunya adalah sejak lama raja atau pemimpin memiliki kontrak sosial dengan rakyat yang dipimpinnya. Dan jika kesepakatan itu tidak lagi dapat dipenuhi, maka masyarakat bersama pemangku kepentingan biasa berhak untuk menurunkan bahkan mengusir raja. Naskah itu juga menetapkan sistem kerajaan dalam membayar pajak untuk membiayai pembangunan daerah. Sistem otonomi daerah dilakukan dibeberapa kerajaan dengan cara yang tidak mempengaruhi urusan dalam negeri baik Lily maupun Limpopo.

Hal lain yang ditemukan dalam teks Lontaraq Akkarungeng Wajo adalah bahwa sistem monarki absolut berubah menjadi lebih baik ketika kerajaan Wajo memasuki periode Arungmatoa. Raja tidak lagi dipilih dan ditentukan berdasarkan 513 generasi, tetapi rakyat memilihnya ketika syarat dan ketentuan yang telah disepakati terpenuhi. Pemimpin yang baik harus menjadi kandidat dalam daftar yang memiliki keterampilan, antara lain. Oleh karena itu, kesepakatan harus dicapai dengan raja terpilih, yang meliputi penghormatan terhadap hak-hak rakyat. Susunannya diatur oleh kepala kelompok marga (tiga Limpoa), yaitu. Bettempola, Talotenreng dan Tuwa, yang disebut Paddanreng atau Ranreng.

Hiruk pikuk sistem pemerintahan yang telah diterapkan oleh Kerajaan Wajo dapat ditarik benang merahnya, bahwa konsep budaya pemerintahan politik tidak didasarkan pada raja yang absolut. Kekuasaan dan otoritas tertinggi tidak membedakan antara keluarga dan yang bukan keluarga. Kekuasaan raja diatur oleh perjanjian negara, sehingga kekuasaannya sangat terbatasYang paling jelas adalah bahwa pihak berwenang tidak boleh terlalu membebani penduduknya, tidak bertindak sewenang-wenang dan dengan tegas menahan diri untuk tidak melanggar aturan yang biasa. Penetapan pemegang kekuasaan tertinggi didasarkan pada beberapa kriteria, yaitu: Asal harus perpaduan antara keluhuran budi yang tinggi dan kualitas keberanian dalam segala hal. Dan terakhir, moral yang bijak dan terpuji.

Dengan berkaca pada sistem pemerintahan pada zaman kerajaan diharapkan pemerintah zaman sekarang ini mampu merealisasikan hal-hal yang patut dan pantas untuk dijadikan sebagai acuan. Bukan mencap sistem pemerintahan sekarang tidak layak namun sebaiknya sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia hendaknya memberi keuntungan bagi instansi pemerintah dan juga masyarakat. Pada saat sekarang ini yang menjadikan sistem pemerintah di Indonesia dikatakan lumpuh bukan dari sistem pemerintahannya tapi dari oknum yang tidak bertanggungjawab di balik sistem pemerintahan ini. (**)

  • Bagikan

Exit mobile version