Penulis: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Bahwa demokrasi memang mahal harganya. Bagi bangsa Indonesia, demokrasi masih menjadi sistem terbaik dalam menjalankan roda pemerintahan. Rakyat Indonesia masih mempercayai dan meyakini demokrasi sebagai jalan terbaik ketimbang oligarki, tirani maupun otoritarianisme yang cenderung tertutup, sewenang-wenang dan menindas rakyat.
Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tagar ‘Darurat Demokrasi’ ketika jalannya demokrasi dijegal oleh setiap kebijakan pemerintah. Dan, bahkan terjadinya pembegalan sesama partai politik dalam memilih jalan kontestasi politik.
Sehingga jika kita berbicara demokrasi tidak terlepas dari gagasan dua filsuf besar yang diyakini sebagai penggagas demokrasi, yakni Plato dan Aristoteles. Kedua filsuf guru dan murid tersebut justru tidak sepakat dengan demokrasi sebagai sistem pemerintahan.
Bahkan Socrates pun dari awal memperkenalkan demokrasi lalu kemudian ia menolaknya. Plato lebih condong kepada aristokrasi dimana pemerintahan dijalankan oleh para cendekiawan yang pandai dan cerdas serta berpedoman pada keadilan.
Begitupun dengan Aristoteles yang juga tidak menghendaki demokrasi, dikarenakan demokrasi merupakan sistem yang berbahaya dan memiliki banyak kelemahan.
Hal tersebut dibuktikan di Indonesia yang dalam praktiknya demokrasi masih mengandung kekurangan dan kelemahan. Sebagai contoh yaitu biaya politik yang tinggi saat pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Selain itu demokrasi juga melahirkan para elite dan aktor politik yang berparas narsis serta para demagog yang berkeliaran dalam sistem politik.
Kedua hal inilah yang menurut mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD disebut dengan dua penyakit demokrasi yang senantiasa menggerogoti jalannya sistem pemerintahan.
Apa itu Demagog dan Narsisme Politik?
Demagog berdasarkan KBBI adalah penggerak atau pemimpin rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk mengedepankan kekuasaan. Secara kebahasaan demagog berasal dari bahasa Yunani yaitu demos berarti rakyat, dan agógos berarti penghasut (pemimpin).
Maka demagog dapat diartikan sebagai pemimpin penggerak politik yang pandai mempengaruhi rakyat untuk mencapai tujuan-tujuan kekuasaan dengan cara menghasut. Demagogi seringkali kita jumpai dalam berbagai forum orator, kampanye serta aksi demonstrasi yang menyampaikan pesan-pesannya dengan semangat yang membara.
Penyakit kedua yaitu narsisme. Narsisme merupakan perasaan cinta kepada dirinya sendiri dengan memuji diri sendiri secara berlebihan. Dalam konteks politik para narsisme seakan-akan mereka merasa dirinya berhasil, prestasi yang dibuatnya semata-mata keberhasilan pribadi tanpa memikirkan kesejahteraan rakyatnya.
Narsisme sebagaimana yang pernah diungkapkan Max Diamond, dalam buku yang ditulis oleh Nehdi Deekesten yang berjudul “Kontribusi Intelektual Islam terhadap Dunia Barat” disebutkan bahwa kemajuan barat sesungguhnya adalah hasil dari pemikiran dunia Islam. Barat memang tidak tau diri.
Jadi kesimpulannya bahwa narsisme adalah penyakit “tak tau diri” jadi kalau diterjemahkan masuk dalam konteks politik maka bisa bermakna bahwa seorang politisi atau penguasa tak perlu merasa lebih hebat, sebab tanpa rakyat kalian bukanlah siapa-siapa.
Kedua penyakit ini menganggap mereka seolah-olah memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, padahal tujuan utama mereka yaitu untuk memperoleh kekuasaan dan menaikan citra dirinya di masyarakat. Perilaku para demagog dan narsisme ini tentunya sangat berbahaya bagi jalannya demokrasi di Indonesia.
Agenda pemerintahan mulai dari pembangunan, reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi dapat terhambat dengan merebaknya para demagog dan narsisme ini.
Lebih parahnya panggung politik saat ini sudah dikuasai dengan eksistensi para kaum demagog dan narsisme. Lembaga-lembaga pemerintahan, institusi-institusi publik telah dikuasai oleh kedua penyakit ini. Ada politisi yang berjanji mengatasnamakan rakyat namun ketika berkuasa perilakunya justru menindas rakyat.
Ada pejabat publik yang melakukan pembangunan atas nama rakyat, justru semata-mata untuk menaikan derajat citranya di mata publik. Ada aparatur negara yang mengklaim bergerak bersama rakyat, namun hanya untuk kepentingan dirinya pribadi. Itulah beberapa contoh perilaku cerminan para demagog dan kaum narsisme dalam kehidupan demokrasi kita.
Akibat Adanya Demagog dan Narsisme dalam Politik
Ketika demokrasi yang dijalankan justru hanya melahirkan para demagog dan kaum narsisme. Hal itu berimbas pada pergeseran makna politik serta kualitas perilaku atau etika para pelaku politik dalam kehidupan bernegara.
Makna politik sebagai usaha untuk mencapai kehidupan yang baik dan sejahtera, atau apa yang Plato dan Aristoteles menamakannya dengan ‘en dam onia’ atau the good life menjadi bergeser hanya untuk kepentingan kekuasaan semata.
Politik mengalami pergeseran dan pendangkalan makna dan jauh seperti apa yang dikatakan oleh Peter Merkl bahwa “politics, as its best is a noble quest for a good order and justice”. Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan.
Akibatnya masyarakat mengalami alergi terhadap politik. Masyarakat meyakini bahwa politik itu buruk, politik itu jahat, politik pencitraan, politik penuh intrik seperti persepsi yang berkembang saat ini.
Selain itu adanya demagog dan narsisme dalam politik juga menggeser substansi dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi yang berisi nilai-nilai yang luhur (seperti kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, kerakyatan) menjadi tergeser oleh suatu hal yang bersifat sensasional (seperti iklan politik, baliho kampanye, pemberitaan di media sosial dan lain sebagainya).
Kualitas perilaku para pelaku atau aktor politik pun semakin buruk karena dicemari oleh perilaku-perilaku para demagog dan kaum narsisme. Mereka berlomba-lomba meraup massa demi meraih kekuasaan dan menaikan citra dirinya. Hanya dengan bekal retorika dan modal, menebar janji-janji manis kepada rakyat sedangkan kualitas perilaku dan etika para aktor politik ini sangat minim.
Sekedar menoleh ke belakang sejarah. Dahulu kita memiliki tokoh-tokoh politik bangsa yang memang memiliki kualitas perilaku dan etika yang tinggi. Sebut saja di antaranya Bung Karno, Bung Hatta, Agus Salim, Sutan Sjahrir.
Mereka memiliki integritas dalam kepemimpinan dan etika dalam berpolitik. Mereka berjuang ikhlas dan tulus semata-mata untuk kepentingan rakyat seutuhnya. Mereka saling memahami jalan pikiran masing-masing, sekalipun berbeda ideology.
Suatu ketika JS Kasimo (Partai Kristen) ingin membelikan rumah dan kendaraan kepada M. Natsir (Partai Masyumi) sebagai sahabat baik secara individual maupun secara partai, tetapi M. Natsir menolaknya dengan halus tanpa membuat JS. Kasimo tersinggung, dengan nada merendah M. Natsir berucap, biarlah aku mengabdi dengan caraku seperti ini. Mereka pun saling berangkulan satu sama lain, saling memuji lisan dan pikiran-pikiran mereka.
Berbeda dengan zaman sekarang, para tokoh negeri, elite politik, politisi, pejabat justru memiliki perilaku seperti seorang demagog dan kaum narsis. Perlu upaya untuk mengubah perilaku para tokoh politik saat ini. Salah satunya yaitu dengan ditanamkannya etika politik pada diri tokoh dan elite politik yang berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Ambigu kekuasaan telah meluluhlantakkan nilai-nilai moral dan Pancasila sebagai ideology negara. Kita tak lagi bisa mendengar percakapan-percakapan yang bernas, sebab motif politisi adalah kekuasaan bukan membangun peradaban sehingga yang muncul adalah kekerasan bertutur, hasut, fitnah dan kebencian. Pada akhirnya demokrasi terkurung dalam perilaku politik.
Etika politik yang berdasarkan Pancasila sangat mengedepankan nilai-nilai moralitas yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Sehingga niat untuk mencari kekuasaan dan perasaan membanggakan diri secara berlebih dapat dibendung.
Kehidupan politik saat ini sudah sepatutnya mendasarkan diri pada nilai dan moral yang terkandung dalam Pancasila. Manifestasi dari kehidupan politik berdasarkan nilai-nilai Pancasila yaitu segala perilaku politik dengan menghalalkan segala cara, perilaku memfitnah, mengadu domba, menghasut, serta memprovokasi massa harus dihilangkan.
Etika politik berdasarkan nilai-nilai Pancasila ini dapat menjadi detox dalam menyembuhkan penyakit demokrasi di Indonesia. Untuk itu sudah menjadi keharusan bagi setiap individu atau pelaku politik di Indonesia memiliki perilaku dan etika politik yang sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Sehingga kehadiran demagog dan kaum narsisme dapat teralienasi dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Sehingga mampu menghadirkan peradaban politik dan demokrasi yang lebih baik sebagaimana cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. (*)