Mahfud MD menegaskan, kala itu Kiai Hasyim Asyari juga menginisiasi munculnya keputusan penting, yakni pertama, umat Islam akan membentuk Hizbullah, tenaga-tenaga tentara dari kalangan Islam. Kedua mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI).
Hizbullah itu menjadi cikal bakal tentara di Indonesia. Kemudian STI diresmikan pada tanggal 8 Juli di Gondangdia, Jakarta, dengan membuka 2 fakultas, yakni agama dan sosiologi. Bahkan saat pemerintah hijrah tahun 1946, STI di Jakarta juga ikut pindah ke Yogyakarta.
"STI ini lalu berubah jadi Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta. Itu adalah kreasi Kiai Hasyim Asy'ari dan ulama dari kalangan pesantren. Sumbangan dan perannya terhadap bangsa ini sangat besar," ucapnya.
Meski begitu, lanjut Mahfud, pasca kemerdekaan banyak pejuang dari kalangan pesantren yang terpinggirkan. Hal itu lantaran imbas dari politik pendidikan yang diwariskan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang cenderung diskriminatif.
"Pejuang, anak-anak muda, dan tokoh Islam banyak yang tidak tertampung dalam tugas-tugas di pemerintahan negara baru. Kemudian banyak kalangan Islam yang memutuskan untuk kembali ke pesantren dan fokus dalam mendidik santrinya. Tapi ada juga yang marah karena tidak tertampung," kata dia.