Isra menilai, keputusan tersebut dikeluarkan tanpa melalui beberapa tahapan sebagaimana yang diatur dalam Keputusan KPU Nomor 337 tahun 2020.
Dia menuturkan, penjatuhan sanksi atau pemberhentian yang dikeluarkan KPU Kota Makassar kepada delapan PPS ini, diduga tidak profesional, karena sangat jauh dari aturan Keputusan KPU Nomor 337 tahun 2020 tersebut.
"Dan tentunya hal tersebut kami nilai sangat tidak adil bagi kami," tambahnya.
Perlu diketahui juga, sebelum PPS menerima SK pemberhentian dari KPU Kota Makassar per tanggal 23 Juni 2023, delapan PPS tersebut, hanya satu kali diundang klarifikasi KPU Kota Makassar, yakni 22 Juni 2023 dan proses klarifikasinya hanya lewat Zoom. Setelah itu terbitlah surat pemberhentian.
Dikatakan, sepengetahuan mereka bahwa kalau delapan PPS tersebut, diduga melanggar kode etik, maka idealnya dilakukan pemanggilan untuk sidang kode etik dan para terduga ini, dipanggil guna menjalani sidang kode etik.
Tapi, kenyataan yang terjadi tidak seperti itu dan sangat jauh dari aturan. Maka ia menilai bahwa dalam sidang kode etik, terduga diberi kesempatan untuk melakukan pembelaan atas apa yang disangkakan akan, tetapi yang dipraktikkan KPU Kota Makassar sangat berbeda.
Dan tidak ada ruang bagi PPS untuk melakukan pembelaan dan tiba-tiba kami dijatuhi sanksi pemberhentian tanpa ada kesempatan membela diri.
"Kami merasa sangat kecewa dengan adanya SK pemberhentian yang dilayangkan KPU Kota Makassar yang dalam proses pengambilan keputusannya sangat jauh dari kata profesional dengan tidak merujuk dan mempertimbangkan Keputusan KPU Nomor 337 tersebut," jelasnya.
Isra mengakui, setelah banyak membaca PKPU serta mempelajari KKPU Nomor 337 tersebut, maka pihaknya berinisiatif untuk melayangkan nota keberatan terhadap hasil keputusan KPU Kota Makassar.