TAKALAR, RAKYATSULSEL - Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulsel langsung merespon dua bangunan megah di pantai Topejawa, Desa Topejawa, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar yang diduga langgar sempadan pantai.
Kepala Dinas DKP Sulsel, Muhammad Ilyas mengatakan penggunaan ruang laut itu harus ada prosedurnya, dan yang mengeluarkan izin itu adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI dalam hal ini Menteri KKP.
Menurut Muhammah Ilyas, untuk mendapatkan izin penggunaan dasar laut harus ada data-data yang disiapkan kemudian di kirim ke Jakarta, setelah itu pihaknya akan rapat sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) nomor 3 tahun 2022.
“Kalau itu sudah sesuai, nah, setelah keluar sertifikatnya itu kalau dia mau mereklamasi mereka harus mengajukan izin reklamasi, dia mengajukan izin UKL-UPL, atau kalau lahan diatas 10 haktare harus Amdal, kalau untuk bangunan-bangunan kecil maka UKL-UPL itu diajukan ke Dinas Lingkungan Hidup Provinsi, jadi panjang prosesnya tidak boleh langsung, biar kita tindak lanjuti itu,” kata Kadis DKP Sulsel, Muhammad Ilyas saat dihubungi Rakyat Sulsel, Minggu (16/7/2023).
Dia juga menegaskan pembangunan apapun diatas air laut itu harus ada izin dari Menteri KKP, harus sesuai dengan zonasi wilayah RT/RW Provinsi Sulsel nomor 3 tahun 2022. Kalau itu sudah sesuai sambung dia, harus menunggu sampai keluar izin dari Menteri KKP kemudian setelah izin itu keluar dan banyak persyaratan-persyaratannya dia penuhi, masyarakat disana juga harus menerima dampak sosialnya bagaimana, kemudian ke sesuaian ruang lautnya apakah sudah sesuai.
“Dengan syarat-syarat tertentu misalnya, setelah izinnya itu keluar kemudian baru dia mengajukan izin untuk apa disitu penggunaan ruang lautnya bisa untuk kabel, bisa pipa air, bisa tambak, untuk rekreasi, bisa untuk pelabuhan pokoknya macam-macam sesuai dengan permohonannya,” pungkasnya.
Muhammad Ilyas juga berjanji, jika terbukti bangunan tersebut melanggar bisa dikenakan sangsi.”Intinya, kalau bangun sebelum Perda itu keluar aturan tentang PKPRL berarti dia harus melengkapi, kalau misalnya belum berarti harus di tutup dengan cara digaris kuning sampai ada izin dari pak Menteri. Kita akan turunkan tim, yang bisa turun itu PSDKP dulu dari Kementerian, belum ada izinnya,” tutup Muhammad Ilyas.
Diberitakan sebelumnya, Lembaga Anti Korupsi dan Kekerasan Hak Asasi Manusia (Lankoras-Ham) Sulsel menyoroti dua bangunan wisata yang diperkirakan panjangannya mencapai seratusan meter lebih menjulur ke laut di pantai wisata Topejawa, Desa Topejawa, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar
Sorotan itu mengemuka, lantaran dua bangunan megah tersebut diduga melanggar sempadan pantai.
Padahal dalam aturan sangat jelas, bahwa pantai merupakan ruang publik milik negara yang tidak boleh dimiliki secara pribadi oleh orang-perseorangan ataupun perusahaan swasta.
Ketua DPW Lankoras-Ham Sulsel, Adi Nusaid Rasyid mengatakan pesisir pantai dan pesisir laut adalah daerah sempadan yang bukan obyek pengaturan Undang-undang pokok Agraria. Artinya, tanah di pesisir pantai tidak dapat diberikan sertipikat hak atas tanah, apalagi wilayah laut non darat yang ada di pesisir laut juga tidak boleh diberikan sertipikat.
“Kami menyayangkan kenapa ada bangunan berdiri kokoh di pantai Topejawa yang diduga langgar sempadan pantai, ini tidak boleh dibiarkan dan pelakunya harus ditindak tegas sesuai aturan yang berlaku,” kata Adi Nusaid Rasyid saat dihubungi wartawan, Minggu (16/7/2023).
Dia pun meminta Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulsel dan Kementerian terkait untuk segera menindak pelaku yang berani membangun bangunan di pesisir pantai Topejawa, Takalar tersebut.
“Kami minta DKP Provinsi Sulsel dan Kementerian terkait untuk segera menindaki oknum-oknum yang berani membangun bangunan di pesisir pantai. Kalau pun pelaku tidak mengantongi izin membangun bangunan diatas pesisir laut ya harus dipidanakan,” pungkas Adi Nusaid Rasyid.
Sementara, Owner wisata Topejawa, Parawangsah Daeng Lapang mengatakan sudah berkirim surat ke Pemda Takalar dan Menteri Parawisata Jakarta untuk menutup wisata tersebut.
“Saya mau tutup karena saya tidak bisa lagi mengatasi gangguan di Takalar,” kata Parawangsah Daeng Lapang. (Adhy)