Kenegarawanan Seorang Surya Paloh Teruji

  • Bagikan

OLEH: YARIFAI MAPPEATY

Usai menyampaikan pidatonya di GBK dalam acara Apel Siaga Nasional Perubahan Partai NasDem, pada 16 Juli 2023 lalu, hampir semua orang mempersepsi bahwa Surya Paloh telah patah arang dengan Jokowi. Sehingga sulit dibayangkan jikalau keduanya masih mau bertemu untuk membicarakan perbedaan pandangan politik di antara mereka.

Mengapa? sebab pidato di GBK tersebut dimaknai sebagai puncak kesabaran Surya Paloh, setelah mengalami berkali-kali “dilukai” Jokowi. Yang terakhir, tatkala Syahrul Yasin Limpo (SYL), Menteri Pertanian yang merupakan kader Partai NasDem, diperiksa oleh KPK dengan dugaan penyalahgunaan Dana Operasional Menteri (DOM).

Padahal, meski hal itu disebut murni sebagai masalah penegakan hukum, namun siapa yang percaya? karena di benak publik pada umumnya, sudah terlanjur tertanam bahwa itu cara Jokowi menekan Surya Paloh, agar Partai NasDem mencabut dukungannya terhadap Anies Baswedan.

Sebab jika masalahnya semata penegakan hukum, maka semua Menteri layak diperiksa, karena diyakini tidak ada yang benar-benar jujur menggunakan DOM-nya. Kecuali jika sikap hidup mereka semua, sama seperti Baharuddin Lopa, Kajagung pada era Presiden Gus Dur. Tak percaya? coba saja laporkan dan periksa mereka, terutama Menteri yang berasal dari parpol koalisi, mungkin jauh lebih parah. Begitu kurang lebih di benak publik.

Menghadapi tekanan itu, Surya Paloh tetap bergeming. Keyakinannya pada Indonesia yang lebih baik jika dipimpin Anies Baswedan, membuatnya istiqomah dan bersabar menelan semua cobaan yang ditimpakan kepadanya. Bahkan keteguhan pendiriannya itu, telah ia tegaskan kepada para elite partainya.

“Abang ini, jangankan dipenjara, dibunuh pun tetap tidak akan berubah mendukung Anies Baswedan,” tegas Bang Surya seperti ditirukan oleh Denny Indrayana melalui akun twitternya, yang dikutip oleh berbagai media online. Rupanya, lelaki asal Tanah Rencong itu telah mewakafkan Jiwa dan raganya untuk perjuangannya.

Hal itu menunjukkan kalau Bang Surya sudah sampai pada tingkat “berserah diri”. Dalam tradisi Bugis, misalnya, disebut “Toddoppuli”. Pendirian semacam itu mengingatkan pada sosok Wolter Monginsidi. “Setia hingga akhir dalam keyakinan!” teriaknya sembari kepalkan tinju di hadapan regu tembak tentara Belanda, jelang 12 peluru menembus dadanya pada 5 September 1949 di Makassar.

Sebenarnya, pada usia yang sudah terbilang sepuh, Bang Surya telah selesai dengan dirinya, sehingga tidak ada lagi yang perlu diraih. Lantas, apa yang membuatnya demikian kukuh mendukung Anies Baswedan, sampai rela pertaruhkan semuanya? Dibujuk tak tergoda, dipaksa pun tak mempan. Boleh jadi, ia masih menyimpan asa untuk melihat impian masa belianya tentang Indonesia terwujud.

Menurut Bang Surya, impian itu pun telah gagal diwujudkan oleh Jokowi. Maka demi impian itu, bangsa ini membutuhkan sesosok pemimpin yang jauh lebih mumpuni memahami hakikat perubahan. Bukan sosok pemimpin yang memandang perubahan secara sempit dan picik. Sebab perubahan adalah keniscayaan, sehingga apa yang disebut keberlanjutan maupun perbaikan, tetap saja adalah perubahan! Lalu, untuk apa pula cawe-cawe?

Dan sosok pemimpin itu, Bang Surya menemukannya pada diri Anies Baswedan. Apa boleh buat, jika mendukung Anies memberi dampak buruk bagi dirinya. Mula-mula kehilangan zona nyaman akibat pengucilan yang dilakukan sendiri oleh Jokowi. Padahal, sebagai salah satu punggawa terkemuka partai koalisi pendukung Jokowi, tentu pengucilan itu sangat menyakitkan.

Tidak hanya itu. Konon, kontrak bisnis cateringnya di PT Freport diputus secara sepihak. Demikian pula sejumlah pemasangan iklan di Metro TV pun berhenti, menyusul penangkapan Johnny G. Plate, yang tentu merusak citra Partai NasDem, benar-benar membuat Bang Surya babak belur.

Herannya, kendati sudah ditikam berkali-kali hingga penuh luka, Bang Surya masih saja mau berendah hati untuk memenuhi undangan Presiden Jokowi di istana. Padahal, ia bisa saja menolak dengan alasan “sakit”. Lagi pula, menolak undangan presiden, toh, bukan hal baru. Setidaknya, Megawati pernah melakukannya terhadap Presiden SBY dengan alasan yang tak begitu jelas. Namun dapat dimaklumi jika alasannya memang karena sakit.

Tetapi Bang Surya lain. Jika memenuhi undangan Presiden Jokowi dapat mendamaikan perbedaan pandangan politik di antara mereka, mengapa tidak? Di sinilah sebenarnya momentum kenegarawanan seorang Surya Paloh sedang diuji. Demi kepentingan yang lebih besar, ia mampu menyimpan rasa sakitnya pada laci meja kerjanya yang paling bawah.

Oleh karena itu, jika yang disebut negarawan adalah mereka yang mampu kedepankan kepentingan bangsa dan negara, sejak dari pikiran hingga tindakan, maka di negeri ini dapat dihitung jari sosok politisi yang layak disebut sebagai negarawan. Namun di antara yang sedikit itu, saat ini, penulis meletakkan Surya Paloh di tempat yang pertama.

So, apakah Anies Baswedan hanya “alat’ bagi Surya Paloh? Benar. Anies adalah alat bagi Bang Surya untuk melihat impiannya tentang Indonesia terwujud, yang juga merupakan impian seluruh rakyat Indonesia. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version