PENULIS: SAIFUDDIN
Direktur Eksekutif LKiS
“Demokrasi memang menjadi problem umat manusia, karena itu demokrasi jangan kehilangan esensi” (Francis Fukuyama)
DEMOKRASI yang tak pernah selesai dibincangkan, dari Socrates (335 SM), hingga era pertengahan bahkan memasuki era politik modern, persoalan demokrasi belum menemui kesimpulannya. Terus dibicarakan baik ditingkat grass root maupun ditingkat elit. Yah, benar ungkapan Francis Fukuyama, bahwa demokrasi menjadi perkara ummat sejagat.
Diskursus tak pernah menyelesaikannya sebab demokrasi kita adalah demokrasi prosedural bukan semata hak-hak kebebasan yang dijamin dalam negara, tetapi hak untuk hidup dan berpendapat negarapun harus melindunginya.
Karenanya, demokrasi selalu bersesuaian dengan mandat rakyat sebagaimana makna demos-kratos. Oleh sebab itu, demokrasi yang dipahami sebagai proses politik rakyat tentu sedapat mungkin dapat bersinggungan dengan berbagai kepentingan rakyat.
Tetapi, soal demokrasi kerapkali dihadapkan dengan local community, seperti kemiskinan, kesehatan dan pendidikan. Sehingga perjuangan bagi demokrasi adalah bagaimana memberi nilai kesejahteraan terhadap problem klasik yang ada di masyarakat.
Tak sekadar dikampanyekan dalam event-event politik tertentu semua atas nama demokrasi walau prakteknya sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, sebab peruntukkannya hanya milik mereka yang berkuasa, (baca : David Easton, The Political System). Padahal esensi pemerintahan yang demokratis peruntukkannya kepada rakyat, from, by, for people.
Demokrasi yang dipahamkan sebagai tolok ukur proses berpolitik yang ideal, maka sejatinya demokrasi memberi: (1) Ruang ekspresi bagi masyarakatnya terkait dengan mimbar kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. Tidak menampakkan kebebasan semu, tergantung tafsir dilingkar kekuasaan. (2) Ruang ekspektasi bagi setiap warga negaranya di dalam mewujudkan kapabilitasnya demi mewujudkan pemimpin yang baik bagi masyarakatnya. (3) Paling tidak demokrasi tetaplah harus disimbolkan sebagai makna kebebasan.
Dengan demikian maka masyarakat tak lagi merasa terkurung (imanensi) di dalam lingkungan politik itu dijalankan. Walau tidak sedikit orang masuk penjara karena cuitannya di media sosial yang cendrung kritis.
Pada aspek ini tentu budaya begitu penting hadir untuk memberi keteladanan bagi tokoh yang terlibat dalam proses politik yang ada. Untuk dipahami secara seksama, bahwa demokrasi dibangun dari aras-aras kritik.
Di banyak fenomena, politik yang selama kurang lebih 32 tahun lamanya terkurung (sentralistik), problem demokratik demikian besar tantangannya. Sebab masa itu, begitu terasa despotisme kekuasaan dan politik, dan gaya kepemimpinan yang otoriterianisme, sangat menghambat demokrasi. Kebebasan, kemerdekaan menjadi terpasung.
Dari sinilah sesungguhnya demokrasi menjadi pilihan terbaik bagi keberlangsungan politik yang ideal. Violence democratic pada prinsipnya bukan menjadi asumsi pembenar bagi “jatuhnya demokrasi”, tetapi konsep nilai dari prinsip human right dan kebebasan warga negara menjadi hal yang mutlak untuk diperhatikan.
Marx menyebutnya sebagai “alienasi” atau keterasingan. Pada fase awal sejarah politik memang fenomena keterasingan, otoritarian gereja dan negara demikian mampu mempengaruhi situasi sosial saat itu, proletarian dan kaum borjuasi (Hacienda dalam drama telenovela) memenuhi ruang diskursus antar pertentangan kelas. Walau di pahami revolusi Bolsevik menjadi jawabannya.
Bahkan runtuhnya tembok berlin adalah “tepuk tangan” bagi kapitalisme atas kejatuhan sosialisme di timur. Fenomena keruntuhan sosialisme menjadi spirit tampilnya hegemoni kapitalisme, dan itu sangat memberikan pengaruh terhadap politik global termasuk politik nasional dibeberapa negara, termasuk Indonesia.
Begalisasi
Kalimat begal seringkali kita umpai di berbagai pemberitaan media. Begal secara aksiologis selalu tersematkan pada perbuatan yang negatif, seperti merampas dengan tindakan kekerasan hingga pada pembunuhan. Begal adalah salah satu sikap menyimpang dari sifat kemanusiaan itu sendiri.
Dalam perspektif sosial dalam kemasan teori strukturisasi ala Anthony Giddens, disebutkan bahwa manusia kadang mengalami depresi atau tekanan karena itu ia melakukan tindakan yang cendrung berlawanan dengan hukum yang ada.
Strukturisasi setidaknya ingin membangun kekuatan atau basis kehidupan sosial yang lebih teratur. Keteraturan sosial itu sangat identik dengan ketaatan, kepatuhan, kepatutan, kepantasan, serta membangun perilaku sosial yang ideal dan baik. Bukan sesuatu ang menyimpang.
Dalam politik setidaknya perilaku menyimpang seperti kata “Begalisasi” di hindari untuk menjaga marwah demokrasi. Fakta sejarah, di Amerika Latin seperti Agusto Finochet (Chile), Evo Morales (Bolivia), Fidel Castro (Kuba), Ruberto Fujimori (Peru), Jenderal Suchinda (Thailand) adalah sekilah tentang juntah militer yang meilbatkan para jenderal dalam pengambil alihan kekuasaan tanpa sebab maupun dengan melakukan gerakan militer.
Di negara Eropa yang memiliki kemajuan berdemokrasi cukup maju, para mantan jenderal dan panglima tidak secara nyata terlibat dalam politik internal, sebab negara memberi ruang pada rung pertahanan dan bahkan di beri mandat mengendalikan lembaga-lemabaga negara termasuk World Bank dan lembaga pertahanan negara, seperti CIA, FBI, Mossad dan lain sebagainya. Ini menandakan bahwa para mantan prajurit, panglima dan jenderal tak terlibat di lingkaran istana maupun kerajaan pada sistem monarkhi.
Namun sejarah politik Indonesia sejak era reformasi dengan gaung keterbukaan___nyaris mengalami kemunduran yang begitu jauh dari jantung demokrasi yang sesungguhnya. Pengkebirian terhadap HAM terbungkam dengan undang-undang ITE, negara tak konsisten memberikan jaminan dan perlindungan hukum kepada warga negaranya.
Padahal konstitusi negara mengatakan dengan jelas bahwa “kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat di jamin oleh undang-undang” tak ada tafsir tunggal dalam kalimat tersebut, bahwa secara esensial semua warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum.
Begalisasi?, adalah sikap dan perilaku baru dalam kehidupan politik modern. Pertanyaannya apakah sah atau tidak praktek begal dalam politik?, ada (mungkin) dua friksi yang bisa alasan pembenar : (1) begalisasi politik itu sah-sah saja sebagai konsekuensi berdemokrasi, tetapi legalicy bukan berarti harus melanggar nilai dan etika dalam berpolitik atas nama demokrasi. (2) begalisasi memiliki motif, bisa motif dendam politik masa lalu, atau bisa karena efek transaksional politik.
Dan fenomena politik hari ini kita dipertontonkan “politik begal” antar elit pensiunan jenderal. Ini sebuah anomali berdemokrasi, sebuah preseden terburuk dalam sejarah berdemokrasi di Indonesia. Kita tak menyalahkan siapa pembegalnya dan siapa yang di begal, hanya saja ini soal etika dan moral berpolitik. (*)