Cacat di Antara Kapitalisme dan Sosialisme

  • Bagikan

Penulis: Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Perdebatan seputar demokrasi biasanya selalu dikaitkan dengan permasalahan sosialisme dan kapitalisme. Dalam diskursus ini, masalah klasik yang sampai sekarang masih diperdebatkan adalah: apakah demokrasi, sebagai sebuah sistem politik, lebih mungkin hidup dalam sistem ekonomi kapitalisme liberal, atau justru dalam sistem ekonomi sosialis? Dan, begitu pula sebaliknya. Soal demokrasi adalah soal hajat orang banyak bukan soal siapa yang berkuasa lalu menguasai.

Berkaitan dengan hal ini, buku yang sangat termasyhur dari seorang pemikir Jerman yang lama menetap di Amerika Serikat, Joseph Schumpeter, akan sangat relevan untuk kita singgung. Schumpeter pada 1942 menerbitkan sebuah buku: Capitalism, Socialism, and Democracy. Buku tersebut membahas kecenderungan perkembangan sistem ekonomi dari sistem kapitalis kepada sosialisme, dan membahas keterkaitan antara demokrasi dengan masing-masing sistem tersebut.

Schumpeter yang sangat mengagumi kapitalisme dan tidak terlalu suka terhadap sosialisme, pada kesimpulan dalam bukunya berpendapat bahwa ternyata pada akhirnya, kapitalisme dalam waktu jangka panjang, tidak bisa lagi dipertahankan.

Keruntuhan kapitalisme ini, menurut Schumpeter, bukan disebabkan karena adanya faktor luar, melainkan akan runtuh oleh sebab-sebab internal. Ia berpendapat bahwa disukai atau tidak, pada masa yang akan datang, sosialisme tak bisa lagi dielakan.

Pertanyaan selanjutnya adalah: apakah dalam sistem sosialisme masih dimungkinkan adanya demokrasi? Di sinilah kemudian dia berpendapat bahwa demokrasi secara menyeluruh bisa berjalan bersama-sama dengan sistem sosialis.

Ia mempertegas pendapat bahwa demokrasi bukan saja bisa diterapkan dalam sosialisme, bahkan demokrasi yang sejati yang meliputi aspek ekonomi dan politik hanya dapat diwujudkan dalam dan dengan sosialisme.
Jerry Z Muller dalam bukunya The Mind and The Market mengemukakan bahwa pemikiran Schumpeter banyak menyimpan ironi. Ironi karena hampir sebagian besar bukunya sebenarnya adalah pemaparan perihal kekagumannya pada sistem ekonomi kapitalis.

Kapitalisme adalah sebuah sistem yang betul-betul dinamis dan kreatif serta telah membawa manusia pada kesejahteraan. Namun menurutnya, kapitalisme akan mati oleh tangannya sendiri justru karena keberhasilannya. Sosialisme akan datang, namun tidak seperti diramalkan Karl Marx bahwa sosialisme muncul karena kapitalisme menyimpan banyak kekurangan, tetapi kapitalisme akan digantikan oleh sosialisme karena kapitalisme menciptakan kekuatan kultural dan sosial yang akan membawanya ke arah kehancuran.

Kapitalisme akan hilang bukan karena kegagalannya, tetapi justru karena keberhasilannya. Itulah kenapa pemikiran Schumpeter, menurut Muller, menyimpan banyak ironi.

Berkaitan dengan hal ini, sebuah penjelasan bisa kita ajukan. Schumpeter mengerjakan seluruh karya-karyanya pada masa Eropa dan Amerika (dunia) sedang mengalami depresi ekonomi yang sangat parah. Depresi ekonomi itu muncul semenjak perang dunia pertama.

Depresi itu, dalam beberapa hal, seolah menunjukan ramalan Marx bahwa, suatu saat, kapitalisme dengan sendirinya akan runtuh karena mempunyai kontradiksi internal. Saat itu memang adalah masa cobaan paling berat bagi kapitalisme. Depresi itu menyebabkan suburnya pemikiran Marxisme di satu sisi sebagai kekuatan kiri, dan Fasisme (Nazisme) di sisi lain sebagai kekuatan ekstrim kanan.

Dari dua jurusan kapitalisme liberal diserang: kiri dan kanan sekaligus. Kedua jurusan ini mempunyai kesamaan: menempatkan negara dalam posisi yang sangat kuat dalam mengelola kehidupan bernegara. Bahkan menjadi totaliter. Kedua sistem ini melupakan peranan masyarakat sipil yang otonom.

Hal inilah yang kelak, menurut Francis Fukuyama, menyebabkan kedua sistem ini hancur dan hanya bertahan beberapa tahun saja[5]. Dalam kondisi seperti inilah Schumpeter mengkonstruksi teorinya.

Pandangan Schumpeter di atas mungkin bisa dijadikan wakil dari pandangan yang mengemukakan bahwa demokrasi bisa berkembang dalam sistem ekonomi sosialis. Orang seperti Milton Friedman dan Hayek yang libertarian, berpendapat sebaliknya.

Keduanya berkeyakinan bahwa kebebasan ekonomi, sebagaimana menjelma dalam sistem ekonomi kapitalis, adalah syarat bagi munculnya demokrasi dan kemerdekaan politik. Kontrol terhadap sektor ekonomi, sebagaimana lazim terjadi dalam sistem sosialis, pada ujung-ujungnya selalu berarti kontrol terhadap kehidupan politik.

Itulah alasan kenapa negara seperti Uni Soviet, China, Kuba dan negara sosialis lain menjadi sangat totaliter. Kebebasan dalam dunia politik, sebagaimana bisa ditemukan dalam sistem demokrasi liberal, menjadi hilang. Kehidupan masyarakat semuanya dikontrol.

Friedman bahkan dengan gamblang mengatakan bahwa sebuah masyarakat tidak bisa sosialis sekaligus demokratis. Menurutnya dua sistem ini bertentangan, karena sosialisme tidak mungkin memberikan kebebasan individu sebagai syarat demokrasi.

Menurutnya, tatanan ekonomi memainkan peranan ganda dalam menciptakan sebuah masyarakat yang bebas. Di satu pihak kebebasan ekonomi adalah bagian dari kebebasan dalam arti luas; jadi, kebebasan ekonomi itu sendiri adalah tujuannya. Di sisi lain kebebasan ekonomi adalah cara yang niscaya bagi munculnya kebebasan politik.

Kebebasan politik diartikan sebagai tidak adanya penindasan terhadap manusia oleh sesamanya. Ancaman terbesar bagi kebebasan manusia adalah kekuasaan untuk memaksa. Kekuasaan memaksa biasanya muncul dalam sistem yang terpusat, baik dalam oligarki, monarki, diktator ataupun pemerintahan berdasar tirani mayoritas. Karena itu, kekuatan harus disebarkan dan tidak boleh terpusat.

Sejarah menunjukan bahwa pemaksaan bisa berawal dari cara mengorganisasikan kepentingan ekonomi. Menurut Friedman, ada dua cara untuk mengorganisasikan kepentingan masyarakat.

Pertama, dengan cara bimbingan terpusat dan sistem komando. Jalur ini meniscayakan munculnya penyeragaman dan paksaan. Butuh militer yang kuat, partai tunggal dan sistem negara totaliter. Uni Soviet dan China adalah dua contoh terbaik.

Cara kedua adalah sistem kerjasama individu yang sukarela. Teknik yang digunakan dalam sistem ini adalah sistem pasaran. Pengelolaan ekonomi diserahkan pada pasar. Negara tidak lagi mengurusi masalah-masalah ekonomi.

Sistem pasar ini adalah obat mujarab untuk menghilangkan sumber paksaan: pengaturan ekonomi oleh negara. Kekuatan ekonomi dalam hal ini menjadi pembatas bagi kekuasaan politik atau distribution of power (bagi-bagi kekuasaan).

Dari pemaparan di atas, baik sosialisme maupun kapitalisme, menurut saya, masing-masing menginginkan demokrasi. Keduanya mempunyai kepentingan dengan nilai-nilai demokrasi, Meskipun demikian, keduanya mempunyai penekanan yang berbeda.

Kapitalisme liberal menekankan aspek liberty dari demokrasi, sementara sosialisme menekankan aspek lain, yakni equality. Keduanya sebenarnya adalah dua nilai ideal yang memang dibutuhkan dalam demokrasi. Namun terkadang kedua nilai ini bertentangan. Ketika kesetaraan dan persamaan ingin dikejar, maka kebebasan harus dibatasi. Dan sebaliknya: ketika kebebasan menjadi prioritas, persamaan menjadi dirugikan.

Namun di banyak negara praktek demokrasi selalu ditemukan tingkat kecurangan akibat pemilik modal sebagai pengendali. Demokrasi akhirnya mengalami dirupsi menjadi remotkrasi. Ini bukan soal demokrasi tetapi ini soal pemimpin yang dilahirkan dari rahim cacat. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version