MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sebuah fakta menarik terungkap dari Focus Group Discussion (FGD) seri IV yang digelar Kaukus Timur secara daring, Jumat 4 Agustus 2023, sore. FGD tersebut menghadirkan dua narasumber utama dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yakni Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram, Profesor Kadri, dan praktisi media Sukri Aruman.
Bila FGD seri Makassar, Papua, Maluku Utara, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur, umumnya yang mencuat adalah keluhan atas perlakuan pemerintah pusat, maka FGD seri NTB, justru sebaliknya. Nyaris tak ada keluhan terhadap kebijakan pemerintah pusat terhadap NTB. Sebaliknya, justru ucapan terima kasih atas kemajuan dan perhatian ekstra yang diberikan pemerintah pusat.
Kendati demikian, bukan berarti tidak ada problem kenegaraan di daerah yang beberapa tahun lalu luluh lantak diguncang gempa dahsyat. Meski berbilang megaproyek masuk ke daerah itu, salah satunya sirkuit MotoGP, Mandalika, provinsi yang terdiri atas delapan kabupaten dan dua kota serta 117 kecamatan dan 145 desa/kelurahan, ini masih berkubang masalah mendasar. Mulai dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM), stunting (gangguan pertumbuhan pada anak) hingga angka kemiskinan yang melampaui rerata nasional.
Saat ini, ungkap Profesor Kadri di awal sesi, NTB termasuk provinsi yang tidak beruntung jika dilihat dari IPM. Meski ada perubahan dari status rendah ke sedang dengan poin 69,46, tetapi IPM NTB itu masih dibawah rata-rata nasional di poin 72,09. “Secara peringkat, IPM NTB ada di urutan ke 29 secara nasional,” ungkap Guru Besar Ilmu Komunikasi ini.
Yang lebih mengenaskan, lanjut alumni Universitas Padjajaran Bandung itu, tingkat kemiskinan NTB nyaris dua kali lipat dari persentase rata-rata nasional.
“Data kemiskinan NTB sekarang itu secara persentase malah 13,82 persen. Angka itu di atas rata-rata kemiskinan nasional yang 7,53 persen,” ujar Kadri yang masuk dalam Tim Penyelaras Kebijakan Publik NTB.
Jika menilik pada data kependudukan online Kemendagri, hingga 31 Desember 2022, total penduduk NTB adalah 5.534.583 orang dengan laki-laki sebesar 2.759.148 dan sisanya, 2.775.435 adalah perempuan. Nah, jika penduduk miskin NTB itu di angka 13,82 persen, seperti disebutkan Prof Kadri, itu berarti penduduk kategori miskin di provinsi ini tidak kurang dari 764.879 orang.
Tidak jauh berbeda dengan angka stunting. Berdasarkan data yang ada, angka stunting di NTB jauh di atas stunting nasional. Yakni 32,7 persen dari angka (stunting) nasional di angka 21,6 persen. “Itulah fakta yang terjadi di NTB sekarang. Mulai dari IPM, angka kemiskinan hingga stunting,” sebut Kadri.
Lagi-lagi jika menilik pada data kependudukan online Kemendagri, maka total anak usia di bawah 10 tahun di NTB sampai 31 Desember 2022 sebesar 874.414. Rinciannya; 529.132 anak rentang usia 5-9 tahun, dan 345.262 anak rentang usia 0-4 tahun. Jika 32,7 persen di antaranya masuk kategori stunting, maka di NTB setidaknya ada 285.933 anak yang bermasalah dalam hal pertumbuhannya. Jumlah itu bahkan melampaui jumlah penduduk Kabupaten Sinjai di Sulsel yang hanya 269.314 orang saja.
Sederet fakta anomali dan fenomenal tersebut, diakui Kadri menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh NTB. Meski di pihak lain, sebut akademisi itu, sesungguhnya ada data dan fakta-fakta yang amat menggembirakan. “Kita punya tambang yang potensi anggaran CSRnya saja ada Rp400-an miliar. Potensi pariwisata apalagi. Kita bahkan dinobatkan sebagai destinasi super prioritas,” bebernya.
Lalu, di mana masalahnya? “Apakah karena kurangnya dukungan dari para politikus nasional asal NTB, baik itu anggota DPR RI maupun DPD?” Tanya Komunikolog Universitas Hasanuddin, Dr Hasrullah yang turut membidani lahirnya Kaukus Timur. Dengan sedikit menurunkan intonasi suaranya, Prof Kadri mengiyakan apa yang menjadi dugaan Hasrullah tersebut.
“Secara program dan anggaran yang berhasil dibawa ke NTB, ya cukuplah. Yang kurang adalah sinkronisasi dan sinergitas dengan program pemerintah daerah. Baik provinsi maupun kabupaten/kota,” ungkapnya.
Tak jarang, kata dia, para anggota DPR RI tersebut saat membawa program dan anggaran ke NTB, itu tidak berkoordinasi atau tidak mengacu pada program pemerintah daerah. “Mereka punya program sendiri yang tidak sejalan program daerah. Akibatnya seperti menabur garam di laut,” kritiknya.
Karena itu, sebut Kadri, ke depannya, jika NTB mau dibawa lebih maju dari keadaan yang sekarang, tidak bisa tidak, perlu ada sinkronisasi dan optimalisasi. Baik antara DPR RI dan pemerintah daerah, maupun antara DPR RI dengan DPRD provinsi.
“Di samping, pemerintah daerah wajib fokus dan melakukan optimalisasi pada problem-problem mendasar seperti IPM, kemiskinan dan stunting itu,” tandasnya.
Kadri lantas meminta Kaukus Timur untuk juga merambah ke tingkat parlemen di Senayan. “Agar apa yang disarankan Pak Hasrullah, itu bisa dimaksimalkan lewan jalur Senayan. Jadi mereka nanti akan berkumpul di Senayan untuk memperjuangnkan aspirasi di timur Indonesia. Mereka bisa berjuang Bersama,” saran Kadri.
Sebelumnya, Sukri yang diminta memotret problematika kenegaraan NTB dari kaca mata media, mengakui bahwa NTB hari ini tidak sama dengan 20 atau 10 tahun yang lalu. Perkembangan hari ini, NTB sebagaimana disampaikan Prof Kadri, secara fisik sangat pesat.
“Bahwa ada banyak persoalan yang masih perlu dapat perhatian dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat, memang iya. Antara lain masalah kemiskinan, lingkungan hidup, dan juga SDA yang sangat kaya, jangan sampai hanya dinikmati oleh segelintir kelompok kepentingan,” Sukri mengingatkan.
Yang tidak kalah pentingnya, sebut Sukri, perlunya memangkas gap dan atau disparitas pembangunan infrastruktur di antara dua pulau besar di NTB, yakni Lombok dan Sumbawa. “Karena jujur saja, disparitas pembangunan di kedua wilayah itu; Lombok dan Sumbawa, yang selalu memicu munculnya keinginan untuk memekarkan Sumbawa sebagai provinsi tersendiri,” kata Sukri.
Dia juga menyoroti distribusi kewenangan ke kabupaten/kota yang tidak proporsional. Akibatnya, ketika muncul suatu masalah, terkait kerusakan lingkungan misalnya, penyelesaiannya tidak sesuai yang diharapkan.
“Isu kenapa Bima kena banjir setiap tahun, itu karena soal kewenangan dari pemerintah kabupaten/kota ke provinsi. Itulah yang membuat penanganannya tidak maksimal. Penyelesaiannya sibuk di hilir tapi melupakan di hulu,” kritik Sukri. (*)