Pengelolaan Sampah TPA Antang Mengancam Kehidupan Anak-Anak

  • Bagikan
Tampak warga memakai masker saat insiden kebakaran TPA Antang 2019 silam. Foto ini diambil dengan jarak kurang lebih 1 km dari TPA Antang. (Foto: Ashar Abdullah)

"Jadi memang, dari beberapa artikel yang kami temukan dan baca, termasuk dari laporan IPCC, anak-anak sangat rentan merasakan dampak dari perubahan iklim karena frekuensi nafas atau cara menghirup udara mereka lebih banyak daripada orang dewasa, dan itu faktanya. Ditambah lagi, anak-anak belum mampu mengekspresikan saat terkena gejala sakit," katanya.

Riadi juga bilang, buruknya tata kelola persampahan di Kota Makassar menjadi ancaman kehidupan anak seperti TPA Antang yang berulang kali terbakar. 

Pasalnya, kata dia, kejadian ini dapat berkontribusi besar terjadinya pemanasan global serta asap tebal yang ditimbulkan dapat menjadi ancaman terhadap kesehatan anak.

"Sebenarnya itu (kebakaran TPA Antang) mempertontonkan tata kelola persampahan yang buruk. Karena kejadiannya sudah berulang-ulang kali," ucapnya.

Padahal, masih kata Riadi, penanganan sampah ada dua hal yang harus dihindari. Pertama, cairan lindi adalah suatu cairan yang dihasilkan dari pemaparan air hujan di timbunan sampah. 

Cairan ini sangat berbahaya dan beracun karena mengandung konsentrasi senyawa organik maupun senyawa anorganik tinggi, yang terbentuk dalam landfill akibat adanya air hujan yang masuk ke dalamnya.

"Jadi cairan ini bisa saja membahayakan masyarakat apalagi anak-anak jika sudah tergabung dengan air sungai atau menyerap ke tanah lalu dikonsumsi," papar Riadi.

Kedua, lanjut Riadi, tidak bercampurnya sampah organik dan non organik yang dapat menghadirkan lebih banyak gas metan.

"Kita lihat selama ini, meski sampah rumahan telah dipilah, tetapi petugas kebersihan tetap menggabungnya. Jadi pengelolaanya buruk karena kurangnya kesadaran serta tidak tegasnya pemerintah soal hal ini. Padahal, salah satu faktor TPA saat itu terbakar karena gas metan," tegas Riadi.

Berdasarkan penelitian tesis mahasiswa pascasarjana Universitas Hasanuddin (Unhas), Bilwalidayni Ikbal dengan judul “Analisis Dampak Kebakaran TPA Antang” mengungkapkan bahwa TPA Antang yang menampung sampah warga kota Makassar sudah mengalami kejadian kebakaran sebanyak empat kali yaitu pada tanggal 29 Juni 2009, 03 Oktober 2014, 10 Oktober 2018 dan yang terakhir pada tanggal 15 September 2019. 

Kejadian kebakaran di TPA Antang khususnya yang terjadi pada 15 September 2019 memberikan dampak dengan adanya muncul kabut asap di kota Makassar selama empat hari. Sehingga, mengakibatkan terjadinya pengurangan jarak pandang penglihatan masyarakat.

Dalam penelitian ini juga menyatakan bahwa pengelolaan TPA yang kurang baik menjadi penyebab terjadinya kebakaran sehingga akan berdampak serius pada masalah kesehatan maupun kesejahteraan masyarakat. 

Dalam penelitian Bilwalidayni tersebut menyebutkan bahwa kebakaran TPA yang menghasilkan ratusan senyawa berbahaya seperti karbon monoksida, formaldehid, nitrogen oksida, sulfur oksida serta senyawa bau yang sifatnya iritan, hasil dari pembakaran yang tidak sempurna . 

Dijelaskan, Formaldehid dapat memberikan dampak berupa mata berair, sensasi terbakar pada mata dan tenggorokan, mual, kesulitan bernapas, ruam kulit serta dapat menyebabkan kanker.

Selain itu, berbagai macam zat beracun dapat dilepaskan ke lingkungan dari limbah yang tidak terkontrol di pembuangan sampah seperti metana, karbon dioksida, benzena dan kadmium. Banyak dari polutan ini telah terbukti menjadi toksik atau racun bagi kesehatan manusia.

Tidak sampai disitu saja, pengelolaan sampah yang kurang baik juga terlihat pada artikel Tribunnews.com yang menuliskan bahwa Makassar sudah lima kali berturut-turut tidak mendapatkan penghargaan sebagai kota bersih.

  • Bagikan

Exit mobile version