MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pelaksanaan pembangunan infrastruktur di Sulawesi Selatan tak lepas dari beragam tantangan, baik faktor alam maupun dari internal kontraktor. Tak sedikit juga datang dari kontraktor nakal yang berujung dilakukannya pemutusan kontrak karena tak mampu menuntaskan pengerjaan.
Nur Syam AS selaku pengamat Tata Ruang dan Tata Kelola Kota UIN Alauddin Makassar menyampaikan pemberian sanksi terhadap para kontraktor dari pengguna jasa pembangunan (pemerintah) hingga saat ini masih terbilang memiliki sisi dilematis.
Ia mengutarakan, dari sisi pemaksimalan proses pembangunan ketepatan dan penyelesaian suatu proyek pembangunan diharapkan dapat rampung sesuai dengan tabulasi terget, yang tentu saja secara nilai guna dapat langsung digunakan oleh masyarakat sebagai sasaran utama tujuan pembangunan.
Ia melanjutkan, keterlambatan pengerjaan suatu proyek pembangunan tentu akan berpengaruh pada aspek sosial dan ekonomi masyarakat, apalagi itu bersentuhan langsung dengan kehidupannya.
“Seperti pembangunan dan pengerjaan jalan, kalau tidak selesai pada waktu yang telah ditargetkan, tentu itu dapat menjadi penghalang masyarakat untuk dapat memanfaatkan jalan tersebut dan pastinya juga berdampak terhadap kegiatan ekonomi. Apalagi jalan merupakan aspek penunjang dalam perputaran ekonomi,” paparnya, Kamis (10/8/2023).
Ia menuturkan, dari sisi pemerintah tentu kerugian yang dirasakan yakni mesti mencari kontraktor lagi untuk melakukan penyelesaian proyek pembangunan yang belum selesai tersebut.
Nur Syam AS menuturkan, meski pada saat melakukan penadatangan kontrak para kontraktor juga telah menyepakati reward, bahkan sanksi baik secara administrasi (blacklist) maupun pidana, namun tak terpungkiri akan ada saja dinamika dalam peneyelesaian pengerjaan baik faktor alam pun dari kesadaran para kontraktor itu sendiri.
Disisi lain, sambung Nur Syam, dengan adanya "blacklist paten" untuk perusahaan tentu akan baik untuk progres dan keseriusan para kontraktor, hanya saja dari pembekuan tersebut juga akan menimbulkan problema baru yang juga bertentangan misi pembangunan.
“Kalau mereka (kontraktor) di blacklist patent, otomatis itu perusahaannya sudah beku kan, tentu PHK akan terjadi bagi para pekerjanya, itu juga akan melahirkan pengangguran yang baru lagi,” terangnya.
Ia berpandangan, pemberian sanksi tak dapat jadi penentu pemaksimalan pembangunan, hanya saja yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah kualitas dalam pemilihan para mitra penyedia yang harus diperhatikan baik-baik dan bagaimana kesadaran dari para mitra juga menjadi pendukung.
Sebelumnya, Kepala Dinas BMBK Sulsel, Astina Abbas membeberkan, pada proyek pengerjaan di tahun 2022 silam beberapa kontraktor dilakukan pemutusan kontrak.
Kata dia, itu dikarenakan para kontraktor tidak dapat menyelesaikan pengerjaan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati, bahkan kesempatan pun juga telah diberikan kepada mereka.
“Pemutusan itu berdasar pada mereka yang tidak dapat menyelesaikan kontrak (pengerjaan yang telah disepakati,red) kita sudah berikan mereka kesempatan, tapi mereka tidak bisa menyelesaikan, itu kita putus (pemutusan kontrak),” tukasnya.
Pemutusan kontrak itu lanjut Astina Abbas para mitra eks mitra akan diberikan sanksi berupa daftar hitam bagi perusahaan yang terkait dengan konsekuensi tidak dapat lagi mengikuti lelang pengerjaan infrastruktur secara nasional.
Hanya saja kata dia, saat ini dari pemutusan kontrak itu belum ada yang sampai dihukum diranah pidana. (Abu/A)