MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Para selebgram Sulawesi Selatan ikut juga dalam pertarungan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Mereka adalah para selebriti instagram atau media sosial lainnya.
Mereka selama ini hanya menjadi konten kreator, perlu diiimbangi dengan kapabilitas dan intuisi dalam berpolitik agar mereka tak hanya berperan sebagai faktor untuk mendulang suara partai politik. Partai politik yang menaungi para pesohor itu seharusnya bertanggung jawab memberikan pendidikan politik, kaderisasi, dan seleksi kepemimpinan secara berkala dan demokratis.
Salah satu yang viral belakangan adalah Rijal Djamal, dia memilih bergabung menjadi calon legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan maju sebagai Caleg di DPRD Dapil III Sulsel yang menghimpun Kabupaten Gowa dan Takalar.
Selebgram lainnya yakni Nelli Hasma Kamal. Bergabung di PDIP, ia mantapkan diri maju menjadi Caleg di Dapil V DPRD Makassar.
Lalu ada nama selebgram asal Kabupaten Pinrang, Nurul Hikmah. Pemilik akun @mammy_nces ini memilih bergabung di NasDem.
Influencer terkenal di Kota Makassar, Provinsi Sulsel yang juga merupakan konten kreator yang aktif di sosial media baik instagram ataupun youtube Rijal Djamal mengatakan, memilih terjun ke dunia politik menjelang tahun politik 2024 mendatang lewat PKB dengan pertimbangan matang.
"Saya memilih gabung PKB sesuai mandat dari pak Ketum Cak Imin dan Pak ketua PKB Sulsel diminta berjuang sebagai Caleg di DPRD Sulsel Dapil 3 Gowa-Takalar. Ini adalahbtugas baeu bagi saya," jelasnya, Jumat (11/8/2013).
Dia menyampaikan, alasan bergabung dengan PKB sederhana, karena PKB adalah partai yang terbuka baik secara gagasan maupun secara komunikasi.
Selain itu tentu karena ada bentuk support yang siap diberikan dalam berpolitik untuk kepentingan keberpihakan dan kebermanfaatan.
"Bagi saya pribadi, karena hanya PKB yang mau menerima produk seperti kami pelaku kreatif yang tetap ingin mengedepankan idealisme dan karakter yang selama ini kami bangun dalam berkarya," tuturnya.
Peneliti senior Populi Center, Usep Saepul Ahyar, mengatakan, partai politik (parpol) yang mengusung artis atau selebgram sebagai calon anggota legislatif (caleg) pada Pemilu 2024 bukan fenomena baru, melainkan sudah ada sejak lama. Harapannya, popularitas yang dimiliki para selebgram tersebut berpotensi hanya untuk mendulang suara bagi partai politik. Padahal, popularitas selebgram itu tidak serta-merta sejalan dengan elektabilitas.
Hal ini bisa dilihat dari data keterpilihan para caleg selebgram yang telah berhasil menjadi anggota di parlemen justru menunjukkan tren menurun di setiap pemilu. Usep menyebutkan, jika pada 2009 persentase kursi selebritas sebesar 3,2 persen, jumlahnya turun menjadi 2,8 persen pada 2014. Persentase ini makin menurun menjadi 2,4 persen pada 2019.
”Fenomena caleg selebgram ini bisa dilihat dari pola kaderisasi parpol yang belum ideal. Parpol kerap kali luput dan tidak bekerja melakukan pendidikan politik, kaderisasi, dan seleksi kepemimpinan secara berkala serta terbuka dan demokratis,” ucap Usep dalam diskusi Road to 2024 Elections: Fenomena Selebriti Menjadi Politisi Pada Pemilu 2024” belum lama ini di Jakarta.
Sementara Pengamat Politik, Muhammad Asratillah menyampaikan bahwa nilai lebih dari caleg berlatar belakang selebgram adalah popularitas.
Menurutnya, figur seperti Rijal Djamal, Hasma Kamal dan Nurul Hikmah, tentu cukup dikenal oleh pemilih di dapilnya, itupun segmen pemilih yang aktif dalam menggunakan media sosial, dalam hal ini pemilih millenial.
"Namun yang menjadi pertanyaan, apakah popularitas tinggi secara otomatis akan menjamin perolehan suara tinggi? belum tentu," katanya.
Karena ada variabel lain selain popularitas yang menjadi alasan pemilih memberikan suara, yakni rekam jejak.
Dikatakan, selebgram yang punya rekam jejak sering melakukan aktivitas yang berdampak positif secara sosial serta berkelanjutan, kemungkinan akan mudah untuk mendapatkan suara siginifikan di pemilihan.
"Karena banyak juga selebgram atau selebriti yang cukup populer tapi dianggap tidak cocok menjadi legislator hanya karena rekam jejak yang minim," terangnya.
Lanjut dia, selain rekam jejak, caleg latar selebgram juga mesti memperlihatkan kapasitas politiknya. Selebgram yang hanya modal keterkenalan, tanpa ditunjang kemampuan untuk menyerap-menagartikulasikan-membahasakan ulang harapan politik dari pemilih di dapilnya, maka akan sulit untuk dipercaya oleh pemilih.
Selain itu, media sosial hanya bisa menjadi instrumen untuk mendongkrak popularitas seorang caleg, paling jauh bisa membantu meningkatkan likebilitas.
"Tetapi untuk meningkatkan elektabilitas memerlukan strategi marketing politik yang jauh lebih kompleks, mesti ditunjang oleh tim pemenangan yang solid, hingga strategi program sosialisasi yang tepat sasaran," pungkasnya.
Sedangkan, Direktur Lembaga Kajian Isu-isu Strategis (LKIS) Syaifuddin, mengatakan, peluang setiap caleg pasti ada. Hanya memang perlu diidentifikasi. Dunia selebgram adalah dunia konten, para penikmatnya adalah "kelas milenialis".
"Dimana selebgram sebagai orang yang memproduksi konten-konten kreator bisa dilihat atensi followers nya. Tetapi itu bukan jaminan keterpilihan," katanya.
Ia menilai bahwa, masyarakat kelas menengah dan terdidik secara politis tentu akan berasumsi lain ketika para selebgram terjun di dunia politik praktis.
Alergi pada politik hari-hari ini semakin meningkat, tentu saja akan berdampak pada semua caleg tak terkecuali selebgram. Tetapi selebgram ketika masuk dunia politik tentu akan memberi pengaruh secara sosial pada dirinya karena terafiliasinya dia ke partai tertentu.
Sehingga boleh jadi konten yang di tawarkan akan di sepi followers dam bisa jadi di tinggalkan.Tetapi semua itu tergantung pola para selebgram dan dukungan untuk meraih suara.
"Sebab dunia politik tentu berbeda dengan bahasa tubuh pelakonnya. Followers dan keterpilihan adalah dua hal yang berbeda," tutupnya.
Direktur Nurani Strategic Consulting, Dr. Nurmal Idrus, mengatakan, setidaknya para selebgram itu mereka sudah punya modal awal yaitu popularitas.
"Ini yang tak dimiliki oleh caleg pendatang baru yang lain," jelas mantan Ketua KPU Kota Makassar itu.
Namun, belum tentu popularitas mereka yang tinggi bisa menjamin keterpilihan mereka. Mereka juga harus punya banyak inovasi kampanye untuk meyakinkan pemilih memilih mereka di TPS.
"Semua tergantung dari cara mereka meyakinkan pemilih agar kesukaan pemilih itu bisa diteruskan menjadi keterpilihan. Ini pekerjaan yang tak mudah," jelasnya. (Yadi/B)