MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 mendatang telah menjadi daya tarik bagi para Selebriti Instagram atau Selebgram untuk mengikuti kontestasi Politik. Namun apakah Selebgram menjadi pendulang suara suara atau hanya pemanis Partai Politik (Parpol)?
Beberapa selebgram yang ikut berkontestasi politik seperti Rijal Djamal, dia memilih bergabung menjadi calon legislatif Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan maju sebagai Caleg di DPRD Dapil III Sulsel yang menghimpun Kabupaten Gowa dan Takalar.
Selebgram lainnya yakni Nelli Hasma Kamal. Bergabung di PDIP, ia mantapkan diri maju menjadi Caleg di Dapil V DPRD Makassar.
Lalu ada nama selebgram asal Kabupaten Pinrang, Nurul Hikmah. Pemilik akun @mammy_nces ini memilih bergabung di Nasdem.
Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andi Luhur Prianto mengatakan, ada selebgram yang prospektif dan punya kualitas menjalankan fungsi-fungsi representasi politik.
"Tetapi ada juga yang hanya menjadi 'pemanis' di pesta politik. Tidak memiliki investasi sosial politik yang bisa mendukung cita-cita politiknya," katanya.
Dirinya menyebutkan selebgram juga ini sebenarnya punya beban ganda. Tidak sekedar berperan sebagai vote-getter dalam mendongkrak perolehan suara partai di Pileg.
"Mereka juga menjadi 'agen pemasaran' partai dalam membangun kedekatan dengan pemilih secara luas, tidak dibatasi oleh sekat Daerah Pemilihan. Partai menjadikan mereka sebagai Humas, untuk membuka sekaligus meratakan jalan komunikasi politik," ujarnya.
Andi Luhur menuturkan sebelum terjun di dunia politik, selebgram setidaknya sudah punya modal popularitas; salah satu elemen penting yang mempengaruhi preferensi pemilih.
"Tetapi popularitas juga punya spektrum yang luas, ada orang yang populer di media sosial tetapi memiliki kecenderungan disengagement di dunia nyata," tuturnya.
Soal lain adalah elemen akseptabilitas (penerimaan) dan elektabilitas (keterpilihan) bukan hal bisa langsung diperoleh.
"Dunia politik punya realitas sendiri, yang jauh berbeda dengan dunia kreatif. Apalagi perilaku pemilih cenderung pragmatis menentukan sikap politiknya, pada sistem pemilihan yang berbiaya mahal," tutupnya. (Fahrullah/B)