JAKARTA, RAKYATSULSEL - Ketua Majelis Perwakilan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo mengatakan, konsensi tambang perusahaan nikel yang menambang di Sorowako, Sulawesi Selatan, yaitu PT Vale Indonesia Tbk (Vale), wajib diserahkan ke daerah.
Menurut Bambang, puluhan tahun Kontrak Karya Vale beroperasi di Sorowako, tetapi tak memberikan manfaat untuk rakyat. Karena itu, perusahaan tambang nikel itu wajib diserahkan ke Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan setelah kontrak berakhir Desember, 2025.
Hal itu diungkap Ferdy Hasiman, peneliti di Alpha Research Database serta penulis buku Freeport: Bisnis Orang Kuat Vs Kedaulatan Negara, Gramedia 2019. dan Monster Tambang, JPIC-OFM 2013, dalam tulisannya di kompas.com, 21 November 2022 lalu.
Menurutnya, yang perlu menjadi catatan, Vale Indonesia adalah perusahaan berbasis Indonesia yang sahamnya 20 persen dimiliki publik di pasar modal dan 20 persen sahamnya juga milik perusahaan tambang negara, MIND ID.
Menurut aturan undang-undang (UU) pertambangan, pemerintah bisa memutuskan perpanjangan atau tidak sebuah Kontrak Karya (KK) dua tahun sebelum masa berakhir kontrak. Artinya, pemerintahan Jokowi perlu memberikan keputusan kontrak Vale tahun 2023 mendatang.
Perpanjang atau tidak sebuah KK tentu memiliki pertimbangan matang, terkait asas manfaat untuk kesejehteraan rakyat, memenuhi syarat sesuai dengan konstitusi UUD’45, peningkatan investasi, dan penerapan best mining practice.
Pemerintah biasanya mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itu. Hal itu sudah dilakukan pemerintahan Jokowi dengan tambang tembaga dan emas terbesar milik perusahaan Amerika Serikat, PT Freeport Indonesia tahun 2019. Dalam kasus Freeport, pemerintah telah sukses menjalankan aturan sesuai dengan perintah konstitusi. Perintah konstitusi mengatakan, KK zaman Orde Baru perlu diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) agar lebih adil bagi negara.
IUPK itu harus memenuhi syarat-syarat yaitu menaikan penerimaan negara, membangun pabrik smelter, penggunaan barang jasa domestik, penciutan luas lahan, divestasi 51 persen saham ke pihak nasional dan perpanjangan kontrak.
Setelah Freeport menjalankan syarat-syarat itu, barulah pemerintah memperpanjang kontrak Freeport sampai tahun 2041. Perpanjangan kontrak Freeport ini menjadi rujukan bagi KK pertambangan lain yang masa kontraknya akan berakhir. Lantas bagaimana dengan KK Vale Indonesia? Apakah semudah bunyi pernyataan Ketua MPR di atas?
Tak boleh naif Jika mengikuti lima syarat yang ditetapkan dalam IUPK seperti dalam perpanjangan kontrak Freeport, Vale Indonesia layak diperpanjang. Vale sudah menaikan penerimaan negara berupa pajak dan royalti. Vale juga sudah bersedia menciutkan lahannya, hanya tersisa 118.000 hektar (74.000 di Sorowako, 22.000 hektar di Bahodopi/Sulawesi Tengah dan 24.000 di Pomala/Sulawesi Tenggara). Lahan yang telah diciutkan telah diserahkan kembali ke negara sejak lima tahun silam dan sekarang sedang ditenderkan di Kementerian ESDM, seperti blok Bahodopi.
Selain lahan, Vale sudah menggunakan barang-jasa domestik dan pembangunan pabrik smelter. Untuk smelter ini, Vale sejak beroperasi di Indonesia tahun 1970, telah membangun pabrik smelter nickle in matte dengan kapasitas di atas 60.000 matrik ton. Ini sangat bagus karena dari dulu, ribuan perusahaan tambang di Indonesia menjual bahan tambang dalam bentuk biji yang membuat negara merugi dan tak memiliki efek pelipatan bagi pembangun.
Sekarang pun Vale sudah mulai membangun pabrik tambahan smelter di Sorowako dengan kapasitas di atas 60.000 matrik ton, di Bahodopo sebesar 74.000 metrik ton, dan di Pomala sebesar 120.000 matrik ton.
Total dana yang dikeluarkan Vale untuk membangun tiga smelter ini senilai 6 milar dolar AS (setara Rp 94,2 triliun). Ini tentu menjadi basis pertimbangan besar pemerintah untuk memperpanjang kontrak. Tak masuk akal bagi pemerintah untuk tak memperpanjang kontrak Vale dengan investasi yang begitu besar di tengah keengganan pengusaha domestik membangun smelter nikel. Vale memang belum tuntas mendivestasikan sahamnya, karena kepemilikan saham Vale sampai sekarang terdiri dari Vale Canada Limited (43,9 persen), Sumitomo Metal (15 persen), Sumitomo Corporation (0,4 persen), MIND ID (20 persen), dan publik di pasar modal (20 persen).
Dengan komposisi kepemilikan seperti ini, saham Vale yang belum didivestasikan ke pihak domestik hanya tersisa 11 persen. Jika, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan ingin mengambil-alih saham Vale, saya menganjurkan membeli saja 11 persen saham Vale dengan valuasi saham yang akan ditentukan kedua belah pihak.
Proses pembelian saham perusahaan tambang ini tidaklah murah. Itu yang terjadi dalam penjualan 51 persen saham Freeport Indonesia ke MIND ID. Harga 51 persen saham Freeport kala itu mencapai 5 miliar dolar. Begitupun dengan Vale Indonesia, harga sahamnya pasti akan sangat tinggi dengan melihat kemampuan perusahaan menghasilkan pendapatan dan laba tinggi. Begitupun dengan total investasi mereka yang begitu besar.
Setelah lima syarat di atas terpenuhi barulah pemerintah memperpanjang kontrak Vale. Dengan begitu, saya kira memperpanjang kontrak Vale ini tak sulit, karena hampir semua syarat sudah dipenuhi. Pertanyaan yang tersisa adalah mengapa saham perusahaan tambang harus dibeli? Mengapa setelah masa berakhir kontrak, konsensinya tak otomatis dikembalikan ke negara, sebagaimana lazimnya dalam Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Migas, seperti Blok Mahakam dan Blok Rokan?
Hal ini memang harus kita pahami secara cermat. KK tambang sangatlah berbeda dengan kontrak migas Producing Sharing Contract (PSC/skema bagi hasil) dengan skema cost recovery. Di migas, dengan cost recovery, ada biaya yang ditanggung APBN untuk eksplorasi sebuah blok migas.
Karena investasi migas sangat mahal dan berisiko, banyak KKKS yang enggan berinvestasi di ladang-ladang migas jika tak memiliki skema menarik seperti cost recovery. Itu artinya, jika dalam melakukan eksplorasi dan investasi besar, sebuah perusahaan migas tidak mendapatkan minyak atau gas, itu akan dianggap sebagai kerugian. Kerugian itu akan ditanggung APBN yang disebut cost recovery.
Dengan skema seperti itu, wajar jika setelah masa berakhir kontrak, KKKS migas milik perusahaan asing, seperti Blok Mahakam di Kalimantan Timur (2014) dan Blok Rokan (Riau) wajib dikembalikan ke negara. Setelah dikembalikan negara, pemerintah akan menjual lagi ke perusahaan negara, seperti Pertamina (Persero) dengan harga yang sangat mahal. Jadi, dalam kontrak migas, negara yang mendapat dana besar dari penjualan blok migas potensial, karena negara sudah mengeluarkan dana besar melalui cost recovery. Ini sangat berbeda dalam KK pertambangan mineral dan batubara.
Dalam KK, semua biaya investasi, mulai dari pembangunan hulu (konsensi) sampai hilir (pabrik smelter) menjadi tanggung jawab korporasi. Korporasi membiayai semua investasi, juga terkait lingkungan hidup, reklamasi pasca tambang dan pembentukan wilayah tambang.
Negara hanya menikmati bagi hasil berupa penerimaan negara, seperti pajak dan royalti. KK zaman Orde Baru memang royalti dan pajaknya dipatok sangat rendah, sehingga tak adil. Namun, setelah pemberlakuan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara, penerimaan negara harus dinaikan agar memberikan keadilan bagi negara. Itu sudah dilakukan pemerintah terhadap Vale. Perusahaan juga memiliki tanggung jawab besar terhadap masyarakat lingkar tambang dan lingkungan hidup.
Pertanyaan lanjutannya adalah mengapa banyak perusahaan asing kerap diberi label buruk oleh publik dan politisi di Tanah Air terkait asas manfaat tambang untuk masyarakat daerah? Ini tentu membutuhkan pemahaman tata negara yang baik. Politisi mestinya tak boleh naif dalam mengeluarkan pernyataan publik. Ini bukan hanya kesalahan perusahaan tambang. Karena sistem fiskal kita memang menganut sistem terpusat.
Artinya, ratusan perusahaan tambang dengan nama KK yang ada di daerah, pajak dan royalti terbesarnya masih ditarik ke pusat untuk membiaya pembangunan seluruh negeri ini. Ruang bagi perusahaan tambang untuk menyumbang daerah hanya melalui beberapa hal kecil, seperti pajak air dan CSR. Hal ini terjadi karena sistem ketatanegaran kita yang menganut unitary system/negara kesatuan.
Indonesia bukan negara federal. Dalam negara federal, daerah memiliki otoritas luas mengolah bahan tambang dan kekayaan daerah sesuai dengan kehendak kepala daerah. Jika Indonesia menganut sistem federal, gubernur Sulawesi Selatan boleh-boleh saja mengolah tambang Vale di Sorowako sesuai dengan kehendak politiknya. Namun, Indonesia yang menganut unitary system, berbeda.
Tangan pusat di daerah masih sangat kuat. Di tambang pun, yang disebut KK atau nanti dalam kasus Vale ini dikonversi menjadi IUPK, menjadi domain pemerintah pusat. Dalam negara kesatuan seperti Indonesia, kekuasaan pemerintah pusat mulai dari mengurus konsensi daerah sampai urusan penerimaan negara sangatlah besar. Dalam negara kesatuan, daerah yang kaya SDA seperti Sulawesi Selatan, Papua, Kalimantan Timur, Aceh, Kalimantan Barat, wajib menyubsidi daerah miskin.
Dalam bahasa konstitusinya, kekayaan tambang daerah harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia, bukan hanya kepentingan rakyat Sulawesi Selatan saja. Artinya, hasil alam dari daerah lain bisa membantu daerah-daerah miskin, seperti NTT, untuk mendapat porsi anggaran proposional untuk kesejahteraan rakyat. Jadi, pemahaman seperti ini perlu kita gaungkan agar lebih adil memahami perusahaan tambang.
Lantas apakah para politisi ini tak memahami itu? Mereka lebih memahami soal itu. Mereka paham, kekuatan pusat dalam tambang sangat besar dan mereka juga ikut menikmati hasil tambang daerah.
Hanya memang mereka (sejumlah politisi) kelihatan seringkali naif dalam mengeluarkan pernyataan publik. Yang penting bagi mereka, isi pernyataan itu manambah daya dobrak di mesin elektabilitas agar nama mereka makin tersohor di seantero republik.
Bagi mereka, kata kesejeteraan rakyat daerah itu sangat mahal, meskipun dalam praktik nyata di lapangan, kesejahteraan dari tambang itu sangatlah sulit. Apalagi jika kita bicara pemerintah daerah yang memiliki perusahaan milik daerah (BUMD) untuk mengolah tambang. Saya belum melihat banyak bukti bahwa ada perusahaan milik daerah yang sukses mengolah konsensi tambang untuk kesejahteraan rakyat. Yang ada, konsensi tambang daerah menjadi mesin ATM bagi para pejabat daerah untuk mencari rente dari para pengusaha tambang.
Jadi, para politisi ini sangat pandai memanfaatkan situasi. Mereka kerap menggunakan isu tambang asing sebagai komoditas politik. Apalagi jika bicara tambang yang dimiliki perusahaan asing. Mayoritas tambang perusahaan asing sangatlah potensial, seperti tambang Grasberg, Papua milik Freeport dan tambang nikel di Sorowako, milik Vale.
Vale adalah salah satu tambang nikel paling profitable di Indonesia. Dalam tahun buku yang sedang berjalan tahun 2022 ini, laba Vale mencapai 168,38 juta dolar dengan pendapatan sebesar 873,7 juta dolar. Produksi Vale per tahun di angka rata-rata 62.000-72.000 matrik ton nickle matte. Per septermber, 2022, perusahaan ini memiliki dana tunai setara 624,3 juta dolar.
Dengan laba dan pendapatan yang besar, penerimaan negara dari Vale tentu ikut terdongkrak. Dalam lima tahun terakhir ini, Vale telah menyetorkan dana ke negara sebesar Rp 7,8 triliun yang terdiri dari pajak dan royalty. - (CBNC Indonesia, 5, Juli, 2022).
Pembayaran PPh perusahaan pada 2021, misalnya, mencapai 85.900 dolar, pembayaran PPN sebesar 1.242 dolar, pembayaran PBB sebesar 2.405 dolar, pembayaran pajak lain 37.545 dolar, pembayaran pajak daerah (belum termasuk pajak hotel dan restoran) sebesar 15.874 dolar, sehingga total pajak yang dibayarkan perusahaan pada tahun 2021 mencapai 200.030 dolar.
Jadi, tambang-tambang ini sangatlah profitable, sehingga menggiurkan banyak pihak termasuk politisi untuk merebut pada saat berakhir kontrak. Tak heran jika menjelang berakhir kontrak perusahaan-perusahaan asing, keributan di ruang publik sering terjadi. Keribuatan seperti itu sudah terjadi saat divestasi tambang milik Newmont Nusa Tenggara (Newmont) ke pemerintah daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) tahun 2010.
Toh sekarang tambang itu bukannya dikendalikan pemerintah daerah NTB lagi, tetapi sudah berpindah tangan ke pengusaha swasta, Amman Mineral. Begitupun tahun 2019, menjelang Pilpres, keributan paling dasyat terjadi ketika divestasi saham Freeport ke pihak nasional.
Dengan demikian, keributan politik menjelang keputusan perpanjangan kontrak Vale adalah dinamika politik yang memang hadir dalam ruang publik kita. Yang paling penting adalah, publik tetap waras untuk menilai pernyataan politisi, apakah muatan kepentingan politisnya lebih besar daripada kepentingan negara ini. Jika muatan kepentingan nasional lebih besar dan sedikit rasional menilai, sudah sewajarnya kontrak Vale ini diperpanjang, karena sudah memenuhi prasyarat-prasayarat yang diberikan UU. (*)