Pemilu 2024 dan Masa Depan Demokrasi

  • Bagikan

OLEH: SAIFUDDIN
Direktur Eksekutif Centrum Arete Institute

SUATU bangsa yang besar tentu sangat tidak mungkin dilepaskan dari jejak sejarah yang mengiringi sampai pada puncak kearifannya. Termasuk sejarah kekuasaan itu sendiri.

Di masa lalu power terpusat pada pada satu orang dan inilah yang kemudian disindir oleh Francis Fukuyama, sosok seperti ini disebutnya sebagai the first man. Dalam filsafat Neo-liberal ala Fukuyama sosok the first man harus diakhiri.

Itu sebabnya karya Fukuyama menyebutkan The Last Man sebagai metafora untuk mengakhiri terpusatnya kekuasaan pada satu tangan. Kemudian kekuasaan itu ditransformasikan ke dalam bentuk-bentuk institusi spesifik seperti partai politik sebagai institusi demokrasi.

Sebagai institusi demokrasi, maka partai politik dilahirkan untuk menjaga marwah kehidupan kebangsaan dan menjaga politik kewargaan (civilization of political). Sebab logika politik memberi isyarat yang memungkinkan demokrasi tumbuh dengan baik apabila instrument demokrasi ada dan berjuang demi kepentingan rakyat.

Ruang politik tak cukup dengan mekanisme atau undang-undang termasuk undang-undang politik tetapi yang terpenting harus ada institusi yang mengagregasi kepentingan publik. Yaitu keberadaan Partai Politik sebagai pelakon bergeraknya demokrasi dalam sebuah negara.

Dalam sejarah kepartaian di era Orde Lama tentu sangat berbeda dengan frame di Orde Baru. Kebekuan di kedua orde tersebut begitu nyata. Demokrasi terkungkung karena power politik yang dominan di satu orang.

Dalam teori politik modern inilah yang disebut dengan despotisme politik yang berarti ketika kekuasaan ditangan satu orang. Orde baru, pada fase tertentu telah menahan nafas berdemokrasi dengan cara melahirkan single majority di tubuh partai politik, bisa dibilang Golongan Karya (Golkar) saat itu sebagai simbol kekuasaan.

Distribusi kekuasaan (distribution of power) pun kian massif. PPP dan PDI hanya sebatas pelengkap biar dibilang demokrasi walau realitasnya otoritarian. Sehingga bisa disebut demokrasi seolah-olah.
Fenomena tawar menawar dalam melahirkan pemimpin dalam konteks pemilu termasuk pilkada adalah bagian dari terbukanya politik transaksional.

Mungkin ini adalah jawaban terhadap pernyataan sebagian kita bahwa demokrasi itu mahal. Kenapa? Sebab dalam setiap event politik baik di level lokal maupun nasional gejala kerusakan demokrasi kian masif dan nampak. Korupsi, proses penyaringan dalam kontestasi politik cenderung diwarnai tawar-menawar politik yang berujung pada “mahar politik” yang demikian besar.

Tak mengherankan kalau kemudian sebagian partai politik tak lagi mampu menjaga etika dalam mengemban amanah kepartaian. Pragmatisme kian muncul diera demokrasi yang serba terbuka ini, apakah ini kemudian menjadi asumsi bahwa demokrasi yang tak gratis, atau pameo “tidak ada makan siang yang gratis” semua harus berbayar.

Fenomena mahar politik ataupun sejenisnya seperti money politic bukan hal baru dalam perjalanan demokrasi bangsa ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap kandidat atau calon kepala daerah baik kader internal parpol maupun non kader yang potensial harus membayar sejumlah uang atau mahar untuk mendapatkan tumpangan "kendaraan" dalam tahapan pemilukada.

Sehingga tidak heran kalau kemudian, tidak sedikit kader partai terpental jauh karena tidak memiliki cukup uang untuk membeli partai politik. Dan disatu sisi partai politik pun kian tak percaya diri sehingga dengan alasan demokrasi dan elektabilitas, maka sebagian partai politik terjebak pada “pelacuran” dengan melamar non kader dengan mahar yang cukup besar. Dengan mengabaikan etika politik partai. Dengan anggapan yang penting dapat kursi.

Realitas ini bukan saja dalam hal pemilihan kepala daerah atau pemilihan presiden, pada pemilihan legislatif pun hal serupa sering terjadi. Tak sedikit calon legislatif kita harus menjual harta benda dan merogoh kocek demi nomor urut teratas.

Yah, inilah wajah politik kita. Politik busuk. Politik yang diwarnai dengan uang. Budaya politik transaksional telah merobek demokrasi baik itu secara struktural maupun kultural. Sebab masyarakat pemilih pun digiring ke arah untuk merusak tatanan demokrasi.

Demokrasi robek dengan perilaku politisi yang brutal demi pencapaian tujuan dengan berbagai cara. Pengrusakan demokrasi bukan karena mereka tidak paham demokrasi, tetapi lebih pada pelanggaran kode etik dalam politik yang menghalalkan segala macam cara. Pendidikan politik pun nyaris tak bergerak sebab partai politik semakin tidak percaya diri.

Undang-undang partai politik yang memberikan kewenangan kepada parpol untuk merekrut calon kepala daerah dan wakil kepala daerah serta calon anggota legislatif seakan melegitimasi "politik uang" atau "mahar politik" itu. Kalimat merekrut bukan berarti bahwa partai politik melegalkan praktek “mahar politik” tetapi dengan mekanisme partai yang ada tentu perkara merekrut harus disesuaikan dengan etika dan undang-undang yang ada.

Etika politik, tentu bicara soal wajar atau tidak wajarnya seseorang kandidat kepala daerah untuk dipromosikan sebagai calon kepala daerah atau tidak, jangan karena lantaran banyak uang lalu partai politik “tergiur” untuk melamarnya dengan alasan mumpung punya duit banyak. Pragmatisme sulit terhindarkan kalau kondisi parpol masih terjebak pada budaya politik transaksional. Karakteristik ini adalah cenderung melakukan kerusakan demokrasi.

Ketidakpercayaan rakyat terhadap partai politik adalah efek dari merebaknya wabah korupsi di tubuh partai politik belum lagi dengan “saling membeli” kandidat di luar partai politik untuk pencalonan dalam kontestasi pilkada dengan mahar yang cukup fantastis, belum lagi dengan kejahatan politik parlemen yang melahirkan MD3 yang cenderung mengkerangkeng hak-hak publik, dengan memasang pagar yang disebut hak imunitas (kekebalan hukum) bagi anggota DPR. Sebuah fenomena politik yang mencemaskan demokrasi.

Dan, konstitusi telah memberi jaminan politik dan kedaulatan kepada rakyat, bukan pada sekelompok orang yang melegacy dirinya diatas tahta dan panggung kekuasaan. Dan ini yang disebut dengan kecerobohan berpolitik. Adakah yang kebal dalam hukum? ini lagi-lagi soal siapa yang berkuasa.
Sebab di banyak kasus politik yang ada, posisi partai politik tidak dalam posisi ditawar tetapi parpol lebih menawarkan diri. Penggalan kalimat ini sesungguhnya telah mencederai nilai demokrasi dan esensi partai politik sebagai alat perjuangan rakyat.

Sepertinya partai politik ingin menjadi dominasi dalam praktek kekuasaan sehingga dengan ujug-ujug terlalu berani melempar handuk hanya untuk memperoleh kekuasaan. Inilah yang kemudian pada perkembangan sejarah dan dominasi yang dikritik oleh Michel Foucault tentang kekuasaan.

Yah, kekuasaan di sana tentu ada partai politik. Perebutan kekuasaan di event pemilu terlihat secara jelas pragmatisme partai politik, ada yang tiba-tiba jadi caleg tetapi tidak pernah terlibat dalam proses pengkaderan di partai politik tertentu. Kenapa demikian? Sebab partai politik sudah tidak percaya diri dan tidak tahu diri. Anggapan yang penting menang dan dapat kursi semakin menjauhkan ideologi partai sampai ke tengah masyarakat.

Akibatnya, proses politik hanya sekadar mencoblos gambar bukan pada komitmen ideologi dari konstituennya. Yah, bisa dibilang demokrasi pasar malam. Edukasi politik hanya mungkin terjadi bila transformasi ideologi perjuangan partai politik sampai ke tengah masyarakat, sebab proses berpolitik tak sekadar menghitung jumlah suara yang ada, tetapi proses berpolitik lebih pada penguatan ideologi dan prinsip dasar manusia atas pilihannya, itulah yang disebut (relasi pengetahuan dengan kekuasaan, menurut Michel Foucault).

Relasi-relasi ini nyaris tidak terbangun sebab agency-agency politik seringkali berpindah-pindah, dimana ulama tampil sebagai politisi, politisi tampil sebagai ulama, ilmuwan tampil sebagai politisi, politisi tampil sebagai ilmuwan, begitu seterusnya. Perpindahan agensi politik sangat disebabkan oleh partai politik yang tidak komitmen terhadap agenda-agenda perjuangan.

Sehingga dengan demikian, publik dalam hal ini memandang partai politik tak lagi menarik terjadi distrut (ketidakpercayaan). Dan bagaimana mungkin partai politik mengagung-agungkan demokrasi kalau pada akhirnya ia kehilangan kepercayaan dari pemilihnya.

Karena itu, partai politik ke depan perlu berbenah diri, termasuk proses kekaderan itu perlu dibangun untuk menciptakan kader yang mumpuni yang siap didorong dalam berbagai even politik yang berlangsung, yang tidak lagi selalu lompat pagar dan memilih halaman orang lain.

Sebab demokrasi yang baik ketika demokrasi itu mendapatkan trust (kepercayaan) dari publik. Karena politik tak sebatas merebut kekuasaan tetapi bagaimana merebut kepercayaan. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version