MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini yang memperbolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan seperti sekolah dan kampus.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Jika pengecualian itu diperlukan, maka seharusnya ia tidak diletakkan di bagian penjelasan. Sebagai gantinya, pengecualian itu dimasukkan ke norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, kecuali frasa tempat ibadah.
"Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, '(peserta pemilu dilarang, red.) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu," bunyi putusan itu.
Kaitan hal ini, Ketua Dewan Pendidikan Sulsel, Dr. Adi Suryadi Culla mengatakan, seharusnya dunia pendidikan kampus atau sekolah tak boleh dirasuki politik praktis berupa kampanye. Hanya saja lebih pada edukasi.
Menurutnya, putusan terbaru MK yang membolehkan ruang bagi peserta pemilu melakukan sosialisasi atau kampanye di lingkup pendidikan harus dipikirkan kembali. Namun, jika sudah ditetapkan MK, maka harus ada kejelasan lebih detail dari MK dan KPU terkait apa menjadi poin-poin dari putusan tersebut.
"Mungkin perlu ada penjabaran yang lebih jelas tentang kampanye yang dimaksudkan oleh MK. Jangan sampai membingungkan masyarakat atau menimbulkan persepsi bahwa kampus atau sekolah itu menjadi arena politik praktis. Itu kan selama ini dikuatirkan," ujarnya, saat dimintai tanggapan, Selasa (12/8/2023).
Lebih lanjut akademisi Unhas itu menilai. Perlu kejelasan lebih kongkret agar dipahami publik. Di mana di kampus itu terjadi kubu-kubu atau kelompok yang kemudian melahirkan pengaruh dari pertarungan politik. Apalagi perseteruan yang terjadi dalam kontestasi.
"Jadi harus dikuatkan aturan oleh KPU agar tidak menimbulkan kesalahan pahaman karena kampus selama ini merupakan dunia akademis, yang dulu pernah ada aturan melarang karena khawatir ada pertentangan," jelasnya.
Lanjut dia, karena itu, jikalau ada aturan baru maka batasannya harus jelas. Sama halnya, dengan sekolah. Jika diberikan ruang kampanye politik dapat menimbulkan dampak tidak kondusif.
"Jadi harus diklarafikasi dengan pejabaran dalam aturan. Kalau yang dimaksud adalah pendidikan politik yah berarti kampus dan sekolah itu menjadi wadah sosialisasi," tuturnya.
Bukan dalam konteks politik praktis, tetapi sebagai ruang penyampaian visi misi dari para kontestan. Bukan mencari dukungan yang bersifat kelompok dukungan.
"Saya kira kalau legislatif tidak perlu calon karena bisa menimbulkan perpecahan. Karena calon itu banyak sekali. Kalau masuk sekolah maka terlalu besar. mungkin cukup parpol saja. Makanya perlu batasan. Presiden mungkin bisa untuk penyampaian visi misi," terangnya.
"Tapi positifnya saya kira penting itu pemilu cerdas. Perlu pendidikan politik yang dibangun karena kelemahan masyarakat itu karena tidak mengenal calon," pungkasnya. (Yadi/B)