Koalisi Tambal Sulam

  • Bagikan

Oleh: Saifuddin

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Per 1 September 2023 politik mengejutkan terjadi, ketika Anies Baswedan menggandeng Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sebagai bakal calon wakil presiden. Terlihat dengan piawai cara Surya Paloh berorkestra dengan baik ketika sehari sebelum menggandeng Cak Imin untuk cawapres Anies Baswedan, menemui Presiden Jokowi.

Tentu ini menimbulkan berbagai penafsiran dan spekulasi, bahwa -bisa saja- pembicaraannya mengarah untuk meminta restu bahwa Cak Imin dipasangkan dengan Anies Baswedan. Surya Paloh melihat kalau koalisi perubahan (Nasdem, PKS, Demokrat, Partai Ummat) yang diklaim sebagai "oposisi" akan sedikit menyulitkan ke depan. Apatah Lagi kubu koalisi perubahan dari AHY dalam pidato dan narasinya seringkali mengkritik pemerintah.

Bagi Nasdem, ini juga sangat berpengaruh untuk mengangkat potensi kemenangan di Pilpres 2024. Bagi Surya Paloh, Cak Imin sangat berpotensi untuk merebut suara di Jawa dengan basis politik NU, Nahdliyin, milenial, dan santri.

Menduetkan Anies Baswedan-Cak Imin, yang kemudian menimbulkan "kegaduhan" di internal Koalisi Perubahan. Secara emosional Demokrat menyebut ini adalah penghianatan. Pengkhianatan atas piagam bersama. Dan, secara emosional pula kader Partai Demokrat menurunkan semua baliho dan memutuskan keluar dari poros perubahan.

Melalui konferensi pers Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat SBY menyebut dengan sindiran "kalau hari ini saja tidak jujur, bagaimana nanti". Satire ini tentu ditujukan kepada Anies Baswedan. Padahal dalam memorandum politiknya disebutkan bahwa diberikan kewenangan bacapres dalam hal ini, Anies Baswedan untuk memilih siapa bakal cawapresnya. Ini anomali dalam politik, tetapi terjadi.

Tetapi fenomena ini bukan hanya berdampak pada Koalisi Perubahan, tetapi juga berdampak pada koalisi lainnya. PKB sudah dari awal, membentuk sekretariat bersama dengan Gerindra sebagai bentuk komitmen politik.

Dan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) di situ ada Golkar, PAN. PPP. Namun koalisi ini pun terbelah karena PPP merapat ke PDIP (Ganjar Pranowo), sementara Golkar dan PAN secara bersamaan merapat ke kubu Prabowo Subianto. Sehingga dengan di duetkannya Anies dengan Cak Imin itu berarti PKB akan keluar dari gerbong Gerindra, dan bergabung ke gerbong perubahan di situ ada Nasdem, PKS dan Partai Ummat.

Dengan kondisi demikian, keluarnya Demokrat dan masuknya PKB di kubu Koalisi Perubahan tidak berpengaruh pada elektoral treshold 20 persen karena Koalisi Perubahan tetap mengusung Anies Baswedan sebagai capres. Sesungguhnya memang ada pihak menilai ini tidak etis, tetapi kalau menurut Jean Baudrillard (Teori Simulakra) ini adalah simulasi "dalam upaya mencocok-cocokkan" siapa yang layak dan pantas.

Kondisi "politik simulakra" ini sesungguhnya akan memancing kedua kubu yaitu Gerindra (Prabowo Subianto), dengan PDIP (Ganjar Pranowo) untuk menentukan cawapresnya, termasuk apakah koalisi keduanya tetap bertahan.

Bagi PDIP tidak masalah karena dapat mengusung sendiri tanpa mitra koalisi. Justru di koalisi ini akan alot untuk menentukan capresnya, sebab tarik menarik antara ketua partai akan semakin dinamis, belum lagi pada basis akar rumput.

Politik Simulakra

Berbicara soal simulakra, maka kita akan mengenal sosok filsuf kontemporer, komentator politik, analis sosiologi asal Prancis. Karya dan pemikirannya sangat berpengaruh pada perkembangan ilmu-ilmu sosial. Simulakra baginya sebagai ungkapan atau sematan terhadap realitas yang sesungguhnya sangat manipulatif.

Teori simulakra berkecenderungan membangun sebuah pencitraan yang berlebihan, walau realitasnya tidaklah demikian adanya. Teori ini seringkali kita jumpai dalam kehidupan masyarakat, seperti perilaku konsumeristik yang kemudian terpola karena adanya pengaruh media seperti televisi, radio, internet serta media sosial lainnya. Sehingga kita (kadang) terjebak pada citra dan branding personality.

Karena itu, kalau simulakra ini di-break down dalam politik maka kita akan memahami seberapa kuat branding personal untuk kepentingan elektoral. Untuk kepentingan elektoral ini dalam frame dukung mendukung maka lahirlah koalisi. Dalam tesis Robert Dahl (1974) yang bersoal "The Regim politic", memang tidak ada koalisi atau oposisi permanen dalam transisi demokrasi.

Tahun 1950-an di negara Spanyol model "The political Party" mengalami kegagalan karena dominasi partai politik dalam kekuasaan negara. Dan, model ini dalam politik Indonesia telah dipraktikkan pada Pemilu 2019 yang membelah dua kubu; Kubu Merah Putih (KMP) Gerindra dan beberapa partai lainnya, dan Kubu Indonesia Maju (KIM) PDIP dan beberapa partai koalisi lainnya.

Namun seiring waktu koalisi ini bubar karena distribution of power terjadi di kabinet Jokowi-Ma'ruf. Tentu semua ini dilakukan untuk menyudahi perseteruan antara cebong dan kampret. Prabowo dan Sandiaga Uno pun masuk di dalam lingkaran kekuasaan, oposisi selesai. Politik, adalah soal ekspektasi bukan soal rasa. (*)

  • Bagikan