Pelaku Kasus Korupsi Tambang Pasir Laut Takalar Divonis 1 Tahun, ACC Sulawesi: Tak Memberi Efek Jera

  • Bagikan
Suasana sidang pembacaan tuntutan Kasus Tambang Pasir Laut Takalar, di PN Tindak Pidana Korupsi Makassar, Jumat (18/8).

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Vonis ringan Gazali Mahmud, terdakwa kasus korupsi Penyimpangan Penetapan Harga Jual Tambang Pasir Laut tahun 2020 di Galesong, Kabupaten Takalar direspon Lembaga Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi). 

Gazali Mahmud divonis 1 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Makassar, serta menjatuhkan kewajiban membayar denda kepada terdakwa sebesar Rp50 juta. 

Dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan serta menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan dan menetapkan terdakwa tetap ditahan. 

Mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Takalar itu dinilai hakim terbukti turut terlibat dalam kasus korupsi tersebut, yang merugikan negara sebesar Rp7.061.343.713.

"Putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa kasus korupsi tambang pasir Laut Takalar yang hanya 1 tahun denda Rp50 juta menambah deretan panjang daftar putusan ringan bagi pelaku korupsi (khususnya di Sulsel)," kata Wakil Ketua Eksternal ACC Sulawesi, Hamka, saat diwawancara Rakyat Sulsel, Rabu (20/9/2023).

Hamka menjelaskan, hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp50 juta bagi pelaku korupsi yang jelas-jelas terbukti secara hukum disebut akan berdampak negatif bagi penindakan kasus korupsi di Indonesia. 

Putusan tersebut dikatakan tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku korupsi yang masih berkeliaran, juga tidak ada pemulihan kerugian keuangan negara di dalamnya.

"Itu kalau kita lihat dari kerugian keuangan negara dari kasus inikan Rp7 miliar, nah berdasarkan pasal 6 peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2020 kategorinya sedang," ujar Hamka.

"Sementara dalam kasus ini yang terbukti adalah Pasal 3 Undang-undang Tipikor, yang ancaman minimalnya atau paling singkat 1 tahun. Jadi hanya hukuman minimal kepada terdakwa dan ini jauh lebih rendah dari tuntutan JPU yakni 5 tahun denda Rp500 juta," sambungnya.

Selain itu, Hamka juga menilai, pemberian vonis atau putusan rendah terhadap pelaku korupsi menandakan bahwa kasus korupsi tidak lagi dipandang sebagai kejahatan luar biasa, melainkan seperti kasus pidana umum. Padahal, dampak dari korupsi yang dilakukan dirasakan langsung oleh masyarakat. 

"Olehnya itu kami berharap JPU melakukan banding karna jauh lebih rendah dari tuntutannya. Selain itu kami juga berharap Mahkamah Agung melakukan evaluasi terhadap penanganan kasus-kasus korupsi supaya majelis hakim dalam memberikan putusan yang memberi efek jerah dan pemulihan terhadap kerugian keuangan negara yang diakibatkan kasus korupsi," kuncinya. (Isak/B)

  • Bagikan

Exit mobile version