MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Aktivitas pertambangan PT. Vale Indonesia di Kabupaten Luwu Timur (Lutim), Sulawesi Selatan kembali disoroti masyarakat.
Dimana, sejumlah pemuda dan mahasiswa yang tergabung dalam Asosiasi Mahasiswa Pemerhati Petani menggelar aksi unjuk rasa di depan Hotel Claro, Makassar.
Mereka menggelar aksi demonstrasi menyikapi kegiatan focus grup discussion (FGD) yang di selenggarakan PT. Vale Indonesia.
Kelompok pemuda tersebut protes hadirnya aktivitas PT. Vale Indonesia di perkebunan warga, khususnya di Loeha Raya, yang mengancam keberlangsungan sumber penghidupan masyarakat petani.
Mengingat, polemik di wilayah tersebut terjadi antara masyarakat dan PT. Vale Indonesia yang bermula saat perusahaan tambang nikel terbesar di Indonesia itu melakukan konsesi lahan.
Namun hal tersebut ditentang keras oleh masyarakat setempat. Sebab, blok Tanamalia telah menjadi lokasi perkebunan merica (lada) masyarakat selama ini.
Jendral lapangan aksi, Ahmad Rifai menganggap, FGD di Hotel Claro mengarah pada membuka ruang untuk membahas ganti rugi dan pemindahan lahan perkebunan petani, dimana itu sudah melenceng dari pada keinginan petani Loeha Raya.
“Ini sudah melenceng dari keinginan masyarakat yang ada di kampung (loeha raya), masyarakat hanya ingin kebunnya di bebaskan dari konsesi PT Vale, masyarakat hanya ingin berkebun dengan tenang tanpa ada ketakutan. Tapi kenapa seolah-olah masyarakat ingin diarahkan ke ganti rugi lahan," ujar Ahmad Rifai, Jumat (13/10/2023).
Selanjutnya Ahmad Rifai mengungkapkan, jika PT Vale Indonesia ingin membuka ruang diskusi, seharusnya dilakukan di ditengah-tengah masyarakat petani atau di Loeha Raya, bukan di Kota Makassar.
Sebab menurutnya banyak aspirasi-aspirasi masyarakat yang berada di akar rumput yang membuat tidak sampai jika pertemuan digelar di Makassar.
"Kalau memang Vale mau berdialog, seharusnya di Loeha Raya, alasan apa yang mau dipake?. Kenapa kemudian tidak mau berdialog di Loeha, apakah kerena takut, hal ini yang kami duga bahwa memang PT Vale ini memang tidak punya itikad baik, apalagi di FGD tersebut hanya 12 orang, dan kami menduga bahwa peserta yang hadir itu tidak mewakili aspirasi dari masyarakat tolak tambang," kuncinya. (Isak/B)