JAKARTA, RAKYATSULSEL - Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) menetapkan 16 Oktober sebagai Hari Pangan Sedunia dengan tujuan meningkatkan kesadaran akan kelaparan serta kemiskinan dunia. Global Food Security Index (GFSI) mengukur ketahanan pangan negara dari empat indikator utama, yakniketerjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).
Menurut CNBC Indonesia, ketahanan pangan di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2022, namun dibanding tahun 2018-2020 berada pada tingkat rendah. Hal ini juga terlihat dari data GFSI yang menyatakan bahwa ketahanan pangan di Indonesia pada tahun 2018 berada pada
tingkat baik.
Aksi! for gender social and ecological justice tahun 2021-2022 melakukan konsultasi di 10 kota Indonesia yakni Jayapura, Purwokerto, Ambon, Bengkulu, Tabanan, Makassar, Kupang, Jakarta dan Palangkaraya dengan melibatkan setidaknya 120 perempuan produsen pangan.
Para perempuan asal kota dan desa-desa sekitarnya tersebut memaparkan kesulitan memperoleh pangan sehat dan terjangkau, ataupun mempertahankan sumberdaya alam dan kebebasan berproduksi pangan. Hal ini seiring dengan semakin masifnya pembangunan infrastruktur, energi dan perkebunan
monokultur oleh pemerintah yang merebut dan menggusur sumber pangan
perempuan di wilayah perikanan, kehutanan dan pertanian.
Perempuan tani miskin dari wilayah Kebumen hanya bisa mengumpulkan buliran padi pasca panen sebagai penghasilannya. Bendungan Kedung Ombo yang dibangun dengan menenggelamkan 37 desa di 3 kabupaten Grobogan, Sragen, Boyolali, menyebabkan sekitar 5.628 keluarga kehilangan tempat tinggal dan sumber kehidupannya.
Sampai hari ini banyak perempuan korban penggusuran dan keluarganya tetap mengalami kesulitan mengakses pangan. Situasi sama juga dirasakan oleh perempuan sektor perikanan di Bengkulu. Mereka yang hidupnya
sebelumnya bergantung pada mencari ikan di laut, sejak masuknya Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Musi dan maraknya tambang galian C, berdampak pada semakin sulitnya memperoleh ikan.
Selain itu, abrasi pantai akibat kedua kegiatan tersebut menenggelamkan tanah, kebun sayur, sawah dan pemukiman masyarakat. Masifnya konflik agraria telah berdampak hilangnya sumber pangan perempuan. Misalnya, masuknya PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) di Kawasan Danau Toba, pengembangan perkebunan sawit oleh PTPN II di Keerom-Jayapura dan Kalimantan Tengah, reklamasi Teluk Jakarta dan kota Makassar untuk Pelabuhan Baru Makassar dan sulitnya akses air bersih karena privatisasi air oleh PT. Palija, membuat banyak perempuan pesisir kesulitan mendapat air bersih.
Parahnya, pemerintah Indonesia justru mengarahkan pada industrialisasi pangan untuk mengakomodir permintaan pasar global yang hanya menguntungkan pengusaha dan penguasa serta makin menyulitkan akses pangan bagi banyak perempuan miskin di pedesaan dan perkotaan ketimbang membangun kemandirian pertanian yang dikendalikan sendiri oleh kepentingan rakyat, termasuk perempuan.
Kedaulatan pangan yang dimengerti sebagai “Hak masyarakat atas pangan yang
sehat dan sesuai dengan budaya yang dihasilkan melalui metode yang ramah
lingkungan dan berkelanjutan, serta hak mereka untuk menentukan sistem pangan dan pertanian mereka sendiri. Hal ini menempatkan aspirasi dan kebutuhan mereka yang memproduksi, mendistribusikan dan mengkonsumsi pangan sebagai inti dari sistem dan kebijakan pangan dibandingkan tuntutan pasar dan perusahaan”. makin terlihat menjauh dari jangkauan banyak perempuan.
Paradigma pembangunan neoliberal rezim pemerintah selama ini memang lebih mementingkan investasi perkebunan, pertanian, energi dan infrastruktur, dan tidak menghiraukan hilangnya sumber pangan dan sumber kehidupan perempuan.
Risma Umar dari Aksi! for gender, social and ecological justice mengatakan, tanggal 16 Oktober selayaknya bukan saja untuk mengingat dan sadar, tetapi harus merupakan hari untuk memikirkan tindakan menghadapi kelaparan dan kemiskinan di dunia ini, termasuk di Indonesia. Negara seharusnya memperhatikan kepentingan perempuan petani, nelayan tradisional, dan perempuan adat dan setempat yang hidup di sekitar wilayah hutan. Mereka adalah produsen pangan yang menjaga keberlanjutan kehidupan kita semua. Sudah seharusnya Pemerintah Indonesia menghentikan proyek dan program yang menghilangkan sumber pangan, dan membuat kebijakan pangan yang berpihak pada perempuan serta memastikan ketersediaan pangan yang sehat dan mudah dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. (*)