Selain itu, Sri Rahayu juga merespon sikap Pj Gubernur Sulsel yang dinilai semena-mena dalam mengambil kebijakan. Hal tersebut didasarkan pada terbitnya surat edaran PJ Gubernur Sulsel yang diklaim dibuat tanpa melibatkan para Kepala Desa di Sulsel.
Apalagi mengenai desa, para Kepala Desa disebut lebih memahami dan mengetahui apa saja yang dibutuhkan oleh masyarakat ketimbang PJ Gubernur Sulsel.
"Setidaknya kami dilibatkan untuk memberi saran. Karena yang lebih memahami terkait desa itu adalah kepala desa yang merupakan raja di wilayahnya. Karena dana desa adalah bagian dari desa dan kewenangan desa yang seharusnya kami dipanggil untuk membicarakan apakah boleh untuk ini, seharusnya duduk bersama dulu," tutur Sri Rahayu.
"Belum lagi ini adalah dana kami yang akan dibelanjakan. Saya berharap bahwa pemerintah juga berfikir, bahwa pemerintah desa banyak program di Desa yang mungkin harus disupport dari dana provinsi, seperti desa wisata, UMKM, Bumdes, termasuk infrastruktur," sambungnya.
Menurut Sri Rahayu, sebagai orang Sulawesi Selatan yang menjunjung tinggi falsafah sipakatau, sipakalebbi, sipakainge, seharusnya setiap kebijakan baik itu sifatnya hanya himbauan dibicarakan secara bersamaan.
"Kita ini orang Sulsel, setidaknya silaturahmi lebih diutamakan, karena pihak desa tidak dilibatkan. Tiba-tiba ada surat himbauan ada pengawasan dari bapak bupati. Karena kita mencermati, 21 Kabupaten itu berusaha untuk mencermati program ini, karena setiap desa di kabupaten itu berbeda-beda. Seperti di Enrekang, sudah berhasil dengan bawangnya, masa digantikan dengan pisang yang tidak tau apakah ini berhasil atau tidak," ungkapnya.
Adapun untuk dana desa sendiri, Sri Rahayu mengungkapkan tiap desa memiliki anggaran yang berbeda-beda, tergantung jumlah penduduknya. Namun perkiraan satu desa di Sulsel mendapat anggaran dari pemerintah pusat sebanyak Rp1 miliar.
"(dana desa) itu bervariasi, tergantung jumlah penduduk, jaraknya dan angka kemiskinan," pungkasnya. (Isak/B)