MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak menurunkan batas usia calon presiden da wakil presiden menjadi minimal 35 tahun. Di satu sisi, hakim konstitusi mengabulkan syarat calon presiden dan wakil presiden berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah. Jalan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden 2024, makin lempeng.
Tensi dan emosi publik naik turun sepanjang Senin kemarin dalam menyikapi putusan hakim Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia calon presiden dan wakil presiden. MK, sebelumnya, menolak gugatan batas usia capres-cawapres menjadi minimal 35 tahun. Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman.
Hanya berselang satu jam lebih, hakim MK mengabulkan uji materi terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Almas. Almas Tsaqibbirru merupakan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa). Almas merupakan anak dari Koordinator MAKI Boyamin Saiman.
MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali yang pernah atau sedang menjabat yang dipilih lewat pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid mengatakan putusan MK tersebut membuka ruang bagi Gibran Rakabuming menjadi calon wakil presiden 2024.
"Dampak putusan ini bisa digunakan sebagai syarat untuk calon presiden atau wakil presiden. Termasuk peluang Gibran bisa memenuhi syarat," kata Fahri.
Dia juga menambahkan, DPR RI tidak perlu ikut campur dalam putusan tersebut. Menurutnya, putusan MK itu sudah bisa langsung berlaku di Pemilu Serentak 2014. "Putusan MK itu derajatnya sama dengan undang-undang," imbuh dia.
"Putusan MK itu bersifat final dan langsung berlaku menjadi hukum sehingga bisa diberlakukan di Pemilu 2024 atau didaftarkan 19 Oktober 2023 ini," tambah Fahri.
Direktur Parameter Politik Indonesia, Ras Md mengatakan ada hal ganjil dalam putusan MK. Alasannya, narasi disampaikan membuat publik kebingungan. "Frasa berpengalaman sama dengan wajib pilih, 17 tahun atau sudah menikah. Ini membingungkan dan seolah-olah sudah disetting dari awal," kata Ras.
"Karpet merah buat Gibran, tapi belum tentu Gibran yang diambil sebagai cawapres," tambah dia.
Menurut Ras, putusan MK menolak gugatan PSI tentang batasan usia capres-cawapres sesuai harapan rakyat.
Direktur Profetik Institute Asratillah berpandangan publik belum biasa memastikan apakah putusan MK ini sesuai harapan atau tidak, dan bagaimana persepsi publik terhadapnya. Menurut dia, untuk mengetahui hal itu mesti ada jajak pendapat skala nasional yang dilakukan.
"Saya pikir, gawaian MK adalah menguji konstitusionalitas gugatan batas bawah umur cawapres, apakah materi UU yang digugat sesuai dengan UUD 1945 atau tidak," ujar Asratillah.
Jika materi yg diuji ternyata tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka gugatan terhadapnya dianggap batal. MK tidak dalam kapasitas menguji apakah UU tertentu sesuai selera publik atau tidak. Menurut Asratillah, capres dan cawapres mesti berada dalam rentang umur yang matang, umur seorang warga negara telah cukup lama berkecimpung dalam dunia politik.
"Kalau batas bawah umurnya terlalu muda, maka bisa saja ada figur yang belum matang sebagai negarawan tapi tiba-tiba secara administratif bisa mencalonkan diri," ujar dia.
Batas umur, kata dia, adalah persyaratan formal belaka. Yang lebih penting menjadi perhatian publik adalah, rekam jejak figur bersangkutan jangan sampai hanya figur karbitan, punya kapasitas, punya visi yang siap diperdebatkan di ruang publik, dan yang terakhir adalah berintegritas.
"Sampai sejauh mana publik bisa mengakses dan mengerti visi masing-masing kandidat. Sampai sejauh mana para pemilih memiliki informasi memadai kaitan profil politik figur bersangkutan. Justru isu-isu tersebut seringkali tenggelam di permukaan semisal hasil survei, skandal dan problem administrasi pemilihan lainnya," kata Asratillah.
Pengamat kepemiluan di Sulsel, Mappinawang mengatakan tidak ada relevansi antara batas usia dengan pengalaman menjadi kepala daerah.
"Menurut saya, MK menambah syarat karena apa hubungannya antara umur dengan pengalaman? Ini di luar kewenangan Mahkamah Konstitusi," kata Mappinawang.
Menurut dia, pengalaman itu merupakan syarat tersendiri. "Ini substansinya penambahan syarat karena usia tidak berubah (harus 40 tahun) maka bersyarat lain dimasukan pengalaman," ujarnya.
Mappinawang pun menyebutkan jika putusan MK ini memberikan peluang kepada Gibran untuk mendampingi Prabowo karena usianya belum cukup 40 tahun tapi sudah menjadi kepala daerah atau Wali Kota Solo.
"Ada peluang karena berpengalaman disini (putusan MK) tidak ada ukurannya, apakah sudah berpengalaman 1 periode atau baru satu bulan," imbuh dia.
MK, sebelumnya, menolak gugatan batas usia capres-cawapres menjadi minimal 35 tahun. Putusan itu dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman. "Memutuskan, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Anwar.
Anwar mengatakan, dalam putusan itu dari sembilan hakim hanya dua hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion yakni Suhartoyo dan Guntur Hamzah.
Adapun gugatan dengan nomor 29/PUU-XXI/2023 tersebut sebelumnya digugat oleh para pemohon di antaranya Partai Solidaritas Indonesia (Pemohon I), Anthony Winza Probowo (Pemohon II), Danik Eka Rahmaningtyas (Pemohon III), Dedek Prayudi (Pemohon IV), dan Mikhail Gorbachev (Pemohon V).
Gugatan itu merupakan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Pasal 169 huruf q. Pasal itu mengatur soal batas usia minimal cawapres berumur 40 tahun.
Adapun tentang gugatan yang dilayangkan oleh mahasiswa UNS bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Almas, MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun kecuali yang pernah atau sedang menjabat yang dipilih lewat pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah. MK menyatakan permohonan sebelumnya berbeda dengan permohonan yang diajukan mahasiswa UNS ini. Perbedaannya ada pada norma pasal yang dimohonkan.
"Terhadap petitum permohonan dalam perkara-perkara dimaksud dapat dikatakan mengandung makna yang bersifat 'ambiguitas' dikarenakan sifat jabatan sebagai penyelenggara negara tata cara perolehannya dapat dilakukan dengan cara diangkat/ditunjuk maupun dipilih dalam pemilihan umum. Hal ini berbeda dengan yang secara tegas dimohonkan dalam petitum permohonan a quo di mana pemohon memohon ketentuan norma Pasal 169 huruf q UU Nomor 17 Tahun 2017 dimaknai 'Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota'," kata hakim MK.
"Dalam rangka mewujudkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai anggota DPR, anggota DPR, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam pemilu meskipun berusia di bawah 40 tahun," kata hakim MK.
Anwar mengatakan, MK telah menyatakan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu yang menyatakan berusia paling rendah 40 tahun bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.
"Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara RI sebagaimana mestinya," kata Anwar Usman.
Salah satu hakim MK, Guntur Hamzah mengatakan, pertimbangannya mengabulkan gugatan itu karena beberapa negara telah mengatur batas usia pemimpinnya di bawah 40 tahun. "Tren kepemimpinan global semakin cenderung ke usia yang lebih muda, dengan demikian dalam batas penalaran yang wajar usia di bawah 40 tahun dapat saja menduduki jabatan baik sebagai presiden maupun wakil presiden sepanjang memenuhi kualifikasi tertentu yang sederajat atau setara," kata Guntur saat membacakan amar putusannya.
Guntur menyatakan, dengan mengubah batas usia capres menjadi di bawah 40 tahun dapat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya generasi muda untuk berkiprah dalam konstitusi pemilu untuk dicalonkan menjadi presiden dan wakil presiden. "Terlebih jika syarat itu tidak hanya diletakkan pada batas usia, melainkan diletakkan pada syarat pengalaman pernah atau sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu," kata Guntur.
Dari sembilan hakim MK yang memutus perkara tersebut, ada dua hakim yang memiliki alasan berbeda (concurring opinion) yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic. Serta terdapat empat hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion yakni Saldi Isra, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo.
Sebelumnya, dalam gugatannya, Almas meminta agar Mahkamah Konstitusi melakukan uji materi terhadap Pasal 169 huruf (q) Undang-undang No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan menambahkan frasa "Berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota." Dalam petitumnya, Almas menyampaikan alasannya mengubah frasa tersebut karena dirinya merupakan pengagum Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.
"Bahwa pemohon tidak bisa membayangkan terjadinya jika sosok yang dikagumi para generasi muda tersebut tidak bisa mendaftarkan pencalonan presiden sejak awal, hal tersebut sangatlah inkonstitusional karena sosok Wali Kota Surakarta tersebut mempunyai potensi yang besar dan bisa dengan pesat memajukan Kota Solo secara pertumbuhan ekonomi," kata Almas dalam petitumnya. (suryadi-fahrullah/C)