Pesantren Sebagai Majelis Ilmu dan Pengembangan Santri

  • Bagikan
Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Makassar, Kaswad Sartono menjadi narasumber dalam program podcast Harian Rakyat Sulsel, Kamis (26/10/2023)

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Terselenggaranya Hari Santri Nasional pada 22 Oktober lalu menjadi momentum besar bagi Indonesia tak kecuali di Sulawesi Selatan. Bukan hanya bagi santri yang bermukim dan menimba ilmu di pesantren, Hari Santri Nasional ini dimaknai luas bagi seluruh masyarakat Indonesia yang berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan sunah Rasul.

Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Makassar, KH Kaswad Sartono mengatakan Hari Santri Nasional sebagai momentum mempererat tali persaudaraan antarsesama, bukan hanya di lingkup pesantren namun masyarakat secara umum. Kokohnya tali persaudaraan di momen Hari Santri ini terlihat pada gelaran Selawat Nariyah yang merupakan program Nahdlatul Ulama berupa 1 miliar Selawat Nariyah.

"Di Makassar kami mendapat kuota 933.240 kali bacaan dan alhamdulillah berjalan dengan baik karena seluruh stakeholder terlibat," kata Kaswad dalam program podcast Harian Rakyat Sulsel, Kamis (26/10/2023).

Selain itu, pada gelaran tersebut ada pula ekspose santri yang memamerkan hasil karya sesuai dengan surat edaran Kementerian Agama. Melihat berbagai karya para santri, Rektor UIN Alauddin Makassar Profesor Hamdan Juhannis tak ketinggalan memberikan afirmasi dan beasiswa bagi santri yang berprestasi.

"Di Expo Pesantren yang di hadiri pesantren dari Makassar, Gowa, Maros, Takalar, dan Jeneponto setiap pondok pesantren memiliki program masing-masing yang menghasilkan produk seperti air minum ada pengembangan ekonomi ada peternakan dan perkebunan," ujar dia.

Lebih jauh membahas pesantren, Kaswad mengungkapkan saat ini pesantren mengalami kemajuan pesat selain sebagai lembaga dakwah, lembaga pendidikan juga sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat yang juga ikut terlibat dengan ekonomi, politik, dan budaya. Sehingga tidak ada batasan dalam menjalin persaudaraan. Menurut dia, saat ini di Sulawesi Selatan terdapat 380 pondok pesantren. Dibanding di Jawa, jumlah ini masih sangat kecil.

"Di Pasuruan saja ada 600 lebih pesantren, di Ponorogo ada 400-an. Ada satu desa 26 pesantren di dalamnya," kata dia.

Kemudian saat ini trend pesantren amatlah berbeda. Jika dahulu yang masuk pesantren adalah anak nakal dan bodoh, saat ini terjadi pembentukan pola pikir orang tua yang ingin melihat keturunan menjadi generasi penerus yang berkualitas.

"Saat ini orang-orang yang berada di pondok pesantren berasal dari berbagai macam background keluarga dan di situlah santri menyesuaikan diri. Saat ini orang tua menyadari bahwa kehidupan teknologi yang cepat saat ini harus diimbangi salah satunya dengan memasukkan anak ke pesantren," imbuh Kaswad.

Selain kesadaran besar dari orang tua, saat ini pesantren menjadi lebih baik dengan berbagai aktivitas pengembangan yang diselipkan, tidak melulu soal hafalan Al-Qur'an namun santri juga diwadahi untuk mengembangkan skill.

"Pesantren yang banyak di Sulsel saat ini adalah pesantren swasta yang tidak ada patokannya untuk kurikulum. Namun standar pembelajaran ada pada pendalaman agama, pembinaan karakter, dan kehidupan berbangsa," jelas Kaswad.

Bila dilihat dari segi tatanan kehidupan, bangsa harus mengakui pesantren sudah sejak lama mengambil peran dalam perpolitikan di Indonesia. Terbukti telah mencetak presiden yakni Abdul Rahman Wahid alias Gus Dur dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin.

Pesantren juga bagian yang menentukan sebuah suara, misalnya, dalam pemilihan sebab para santri berpegang teguh kepada pilihan kiai sehingga banyak dilirik pelaku politik untuk digalang. Lebih jauh pesantren juga banyak menciptakan tokoh tokoh masyarakat yang mampu bersaing di dalam dinamika perkotaan yang luar biasa, tak terkecuali di Sulsel.

"Keinginan masyarakat melahirkan generasi unggul berbasis agama sudah sangat luar biasa keinginannya terbukti saja dari 300 pengunjung pendaftaran hanya beberapa yang diterima siswa-siswa ada juga pesantrennya setengah mati mencari siswa," ujar Kaswad.

Di dalam tradisi pesantren, Nahdlatul Ulama menghadirkan istilah semakin jauh dari rumah tingkat mencari ilmu semakin bagus. Maka hadirnya pondok pesantren sebagai wadah ilmu menjadi pilar penuh makna dimana santri yang dilahirkan mampu berdiri di tengah tengah masyarakat, menjadi penghafal Alquran bahkan mampu menjadi ulama besar. Lebih lengkap lagi jika pada penerapannya dengan bimbingan yang diberikan selama di pesantren ilmunya dapat terpakai di tengah masyarakat.

"Ada seorang dokter alumni UIN lulusan pesantren yang hafal Al-Qur'an. Namun bukan hanya mendalami kitab kuning tetapi mendalami ilmu-ilmu kedokteran juga," ucap Kaswad.

Ia juga mengungkapkan, saat ini sudah dikembangkan inovasi di dalam pembelajaran misalnya Al-Qur'an braille dan Al-Qur'an untuk orang tuli. Pesantren juga telah menerapkan sistem pembelajaran online dan digitalisasi.

"Kelebihannya, semua yang dipelajari di sekolah umum ada di pesantren. Tetapi tidak semua yang dipelajari pesantren dipelajari di sekolah ini kemajuan-kemajuan yang terjadi di pondok pesantren," imbuh dia.

Lebih jauh Kaswad mengatakan pondok pesantren tidak mungkin melahirkan superman tetapi melahirkan anak-anak berkualitas sesuai talenta masing masing. Di samping itu, bagi santri juga harus ada kontrol dari upaya pemikiran tentang terorisme. Di pesantren ada pembinaan tersendiri.

"Kami mengajarkan boleh kita fanatik terhadap ajaran tapi tidak bisa ekstrem atau berlebih-lebihan," ujar Kaswad.

"Dari tema yang dimaksud saya melihat bahwa jihad di sini bukan hanya perang tetapi bagaimana memperjuangkan negeri yang diperjuangkan para ulama, dan para pejuang. Bagaimana kita isi dan jaga baik-baik, sebab negara yang baik akan mengantarkan kita ke kehidupan yang baik," imbuh dia. (Andi Nurhikma/C)

  • Bagikan

Exit mobile version