Muzakkir Djabir
Ketua Umum PB HMI 2005-2007, Diaspora Indonesia di Amerika Serikat
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kemunculan Jokowi di panggung politik nasional memang fenomenal. Personifikasi sederhana dan pekerja keras melekat kuat pada dirinya. Pendekatan dialogis dan partisipatif dalam membangun Kota Solo sering menjadi kajian di dunia kampus dan referensi bagi para decision maker, tidak saja di Indonesia tapi juga dunia.
Kiprah Jokowi menjadi perbincangan masyarakat dunia. Majalah Time pernah mengulasnya menjadi tajuk utama dengan judul A New Hope, wajah Jokowi menjadi cover di majalah terkemuka tersebut. Proses kepemimpinannya lahir dari bawah, merangkak naik hingga menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Sejauh ini, hanya Jokowi yang melewati proses kepemimpinan territorial berjenjang dari Walikota, Gubernur hingga menjadi Presiden. Khasanah baru dalam proses sirkulasi elit serta memberikan harapan akan munculnya tokoh atau pemimpin nasional yang berkarir dari daerah, tidak meluluh di pasok dari sentral kekuasaan di Jakarta.
Tipikal kepemimpinan Jokowi yang informal, luwes, taktis, senang blusukan, berbaur dengan rakyat menjadi trend dan ditiru banyak elit, Jokowi merupakan antitesa dari pemimpin-pemimpin republik sebelumnya yang terkesan formalistik. Maka tak heran, oleh sebagian pendukungnya, Jokowi dipersepsikan sebagai ‘ratu adil’ yang menyalakan obor harapan akan kehidupan yang lebih maju dan sejahtera.
‘Sihir’ Jokowi sungguh menghipnotis dan meletupkan histeria massal, seperti tak ada ruang dan peluang kekeliruan pada dirinya, semua titahnya adalah kebenaran yang sakral untuk diinterupsi, apa lagi dilawan. Begitu fakta yang disuarakan oleh para buzzer dan relawannya. Tanpa di instruksikan, mereka bergerak bersama melakukan counter terhadap oposan Jokowi.
Seiring berjalannya waktu, khususnya pada periode kedua hingga di ujung masa kekuasaannya, watak ndeso humanis ala Jokowi bertransformasi menjadi kepemimpinan totalitarian. Kemegahan dan kemewahan kekuasaan tak mampu ditampiknya, makin mengoda dirinya untuk memusatkan seluruh instrumen kekuatan politik di bawah kendalinya.
Fenomena ini sejalan dengan pepatah latin kuno honores mutant mores, maknanya; “kehormatan mengubah perilaku atau moral, saat manusia berkuasa, berubah pula tingkah lakunya”.
Hampir satu dekade kekuasaan Jokowi, nyaris tak ada interupsi signifikan dari elemen-elemen pro demokrasi, misalkan; Pers, Gerakan Mahasiswa, Kampus, LSM bahkan Parlemen kelihatan tak bertaring dihadapan eksekutif, seakan membebek terhadap semua keinginan pemerintah.
Agenda pemerintahan dimuluskan tanpa debat-debat kritis dan substantif. Aspirasi dan koreksi dari kelompok oposan pun tak begitu digubris. Narasi menjadi Tunggal, bersumber dari istana, relawan plus buzzer, yakni; narasi tentang Jokowi sukses besar membangun Indonesia.
Jokowi sebagai seorang sipil, terlihat cukup efektif mengorkestrasi otoritasnya dalam mengontrol entitas politik, juga sekaligus mengeksekusi agendanya. Kebijakannya selalu mulus karena dukungan parlemen yang mayoritas berada di koalisi pemerintahan Jokowi, diantara yang bisa jadi bukti betapa determinannya kekuasaan Jokowi, yaitu mulusnya agenda perpindahan ibukota negara ke Kalimantan Timur (IKN) dan lolosnya UU Omnibuslaw yang tergesa-gesa, dipaksakan dan mengabaikan prosedur baku.
Tak pernah lagi kita dengarkan suara tentang Nawacita, Revolusi Mental, Esemka. Supremasi hukum kian absurd, KPK mati suri, hukum menjadi alat kekuasaan. Janji pertumbuhan ekonomi 8% hanya mimpi, utang semakin bertambah jumbo, produk impor membanjiri pasar dalam negeri, tambang dan hutan dieksploitasi secara brutal. Ketimpangan semakin nyata, kue pembangunan hanya dinikmati dan terkonsentrasi pada segelintir pihak saja.
Rekonsolidasi Oligarki
John Emerich Edward Dalberg-Acton (1834 – 1902) yang lebih dikenal sebagai Lord Acton seorang politikus cum sejarahwan menuliskan diktum yang sampai sekarang masih sering dikutip, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely” (Kekuasaan itu cenderung korup. Kekuasaan absolut korup mutlak). Peringatan Lord Acton nampaknya relevan dalam memotret karakteristik Jokowi sekarang.
Absolutisme kekuasaan Jokowi berhasil mengangkangi dan mengontrol instrumen negara untuk melayani hasrat kuasanya. Lihat saja, mayoritas Ketua Umum membebek dan partainya tak leluasa menentukan koalisinya sendiri, mereka disetir oleh arahan atau kemauan Jokowi. Kesepakatan Koalisi Indonesia Maju (KIM) untuk mengusung Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres Prabowo Subianto sulit menegasikan campur tangan sang Presiden.
Persis dengan dinamika persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) perihal batas minimal usia Capres dan Cawapres. Putusan kontroversial MK yang meloloskan Capres dan Cawapres berusia di bawah 40 tahun dengan menambah frasa “berpengalaman sebagai pejabat negara atau kepala daerah”.
MK melampaui wewenangnya, merubah, mengurangi atau menambah pasal pada Undang-undang yang merupakan domain Legislatif dan Eksekutif. MK telah kehilangan marwahnya, sinyalemen publik bahwa MK berubah menjadi Mahkamah keluarga sulit untuk dinafikan, lembaga ini bekerja seperti mengikuti desain atau pesanan dari istana.
Kekuasaan yang korup, bergerak dan bersenyawa dengan oligarki, kutub yang berkelindan, saling menopang dalam melanggengkan kepentingan masing-masing. Rezim berorientasi semakin mengokohkan kuasanya, sedangkan oligarki bertujuan mengakumulasi modal dengan mendulang keuntungan ekonomi.
Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy (2011), secara gamblang mendeskripsikan tentang karakteristik sistem pemerintahan Oligarki, yakni; (1). Kekuasaan dan uang tak bisa dipisahkan. (2). Kekuasaan dikendalikan oleh kelompok kecil masyarakat. (3). Kesenjangan dan ketidaksetaraan dari sisi materi. (4). Kekuasaan digunakan untuk mempertahankan kekayaan.
Empat ciri di atas, merupakan potret pemerintahan Jokowi, dimasa kepemimpinannya, proses rekonsolidasi kaum oligark berjalan sempurna. Keputusan-keputusan politik dikendalikan berdasarkan kepentingan kaum oligark tersebut.
Senada dengan telaah Richard Robinson dan Vedi R. Hadiz dalam buku Reorganising Power in Indonesia; The Politics of Oligarchy in an Age of Market (2004). Menjelaskan bahwa oligarki di Indonesia merupakan persekutuan antara kekuatan politik birokratis dan kekuatan pemodal, keduanya bergerak saling menopang, mendukung untuk ‘mengeruk’ keuntungan ekonomi secara bersama.
Alarm demokratisasi sedang menyala, mengirimkan sinyal bahaya. Reformasi sebagai gerakan perlawanan terhadap kekuasaan otoritarian kembali ke titik nadir di era Presiden Jokowi. Hasratnya melanggengkan kekuasaan dipertontonkan secara telanjang, di mulai dari agenda terselubung perpanjangan periodisasi Presiden, penundaan pemilu dan sekarang membangun struktur politik dinasti.
Anak-Mantunya dimuluskan menjadi Walikota, Ketua Umum Partai Politik serta Bacawapres. Praktek yang tidak pernah dilakukan oleh Presiden-Presiden Indonesia sebelumnya. Watak kekuasaan despotis Jokowi harus dibendung dan dilawan.
Cawe-cawenya yang terlalu jauh dalam dinamika pilpres 2024, memposisikannya sulit untuk dipercaya menjadi wasit yang netral. Kekuatan pro demokrasi mesti terus bersuara dan bergerak bersama, mengingatkan Jokowi untuk menjadi negarawan, mengawal proses demokrasi berjalan secara adil, jujur, transparan dan independen.
Pilpres 2024 sangat krusial bagi masa depan Indonesia, jangan sampai menjadi trigger terjadinya perpecahan antar anak bangsa. ‘Jurus mabuk’ Jokowi di akhir periodenya, berpotensi mendorong terjadinya impeachment, jatuh dari kursi kepresidenan seperti Soekano, Soeharto dan Gus Dur.
Jokowi perlu mengingat refleksi Soekarno dalam buku yang ditulis sejarahawan Peter Kasenda. “Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian bahwa kekuasaan seorang Presiden pun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat. Dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa”. (Hari-hari Terakhir Soekarno, 2012). (***)