Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Merespons dua penggalan kata di atas, seakan kita akan berjalan dalam tempuh yang cukup lama hingga sampai tujuan yang diinginkan. Sebab, menemukan dua tali perdamaian antara keduanya demikian sulitnya, baik itu dalam perspektif sejarah maupun ilmu pengetahuan.
Tetapi kita tak boleh menyerah begitu saja, sebab esensi manusia harus mampu mempercakapkan semua dimensi sosialnya termasuk hubungan-hubungan kemasyarakatan terlebih pada relasi antara kekuasaan dan pengetahuan. Pikiran awam (sebagian) berkecenderungan menuduh kekuasaan sebagai pemilik sah kebenaran.
Sehingga kekuasaan (power) menjadi penafsir tunggal atas kebenaran. Lalu kalau demikian adanya maka dimana posisi pengetahuan? Sebagai sarana yang memproduksi nilai-nilai kebenaran itu sendiri.
Maka tulisan ini mencoba mendaras untuk menikmati percakapan antara keduanya yaitu, kekuasaan dan pengetahuan. Untuk memahami kekuasaan tidak harus masuk menjadi penguasa, tetapi memahami kekuasaan tentulah sangat didasari oleh adanya pembentukan individu, masyarakat, dan subyek-subyek tertentu untuk melihat kekuasaan itu bekerja dan bertindak seperti apa.
Nietzsche memandang bahwa semua keinginan untuk mengetahui kebenaran sudah merupakan bentuk keinginan akan kekuasaan. Namun, Michel Foucault sedikit berbeda. Dia semakin menggali tentang pengetahuan praktis tentang subyek dan kekuasaan, penelusurannya semakin nampak bahwa konsepsi kekuasaan lebih mengarah ke subjektivasi daripada objektivasi kekuasaan.
Maksudnya, bahwa (diri) sebagai alat kekuasaan, lebih dipahami sebagai hasil dari dominasi daripada sebagai sarana atau alat kebebasan individual. Sehingga perkara ini mengandaikan adanya pendefinisian kembali tentang kekuasaan itu sendiri.
Tetapi untuk lebih memahaminya dalam diskursus sebagai percakapan metodik, Foucault, dalam karyanya “Surveiller et Punir (1975)”, dan “La Volonté de Savoir (1976)”, dua tulisan ini mencoba menjelaskan tentang bagaimana kekuasaan sebagai sarana, tehnik, dan mekanisme kekuasaan itu bekerja dan beroperasi. Dan juga untuk memahami hakikat kekuasaan-pengetahuan dalam arti, model, bentuk, dan implementasinya kepada masyarakat atau dikenal dengan akuntabilitas publiknya.
Pemikiran ini sesungguhnya sebatas ingin memeriksa adanya keterlibatan proses peradaban barat, yaitu agresi rasio dengan kepastian filsafat pencerahan sebagai ambivalensi terhadap hadirnya kekuasaan dalam negara. Fase perkembangan pelacakan tersebut ditemukan daya kritik terhadap “filsafat pencerahan” yang terlalu percaya pada sistem tanpa harus mempertimbangkan pada aspek sosiologi masyarakat sebagai objektivitas dari sebuah kekuasaan.
Sehingga percakapan-wacana ini ada kemungkinan kekacauan kejadian atas fakta-fakta sejarah secara empiris. Filsuf sejarah sekelas Hegel misalnya, mendapat kritik tajam yang memandang “sejarah sebagai dialektika”. Sebab sejarah, bukan untuk menjadikan koheren apa yang tidak koheren.
Sejarah pula bukan untuk mempertahankan rasionalitas yang bertentangan dengan realitas, atau bahkan mempertentangkan antara kekuasaan dengan ideology. Namun, dialektika memiliki kehebatan tersendiri dalam kemampuannya mengubah kekurangan menjadi kekuatan, yang jahat menjadi sarana kebaikan, perbedaan pendapat menjadi momen dimana kesadaran menjadi lebih jelas.
Tetapi Foucault, tanpa sinisme tetap memandang bahwa jalan keluar bagi dialektika tak lebih hanya imajinasi. Hingga sampai kepada pertanyaan, bahwa kontradiksi, perbedaan, pertentangan atau konflik tidak selalu harus ada jalan keluarnya.
Dalam rentang sejarah pewacanaan dari keduanya pada prinsipnya telah mendorong upaya perubahan dalam sejarah. Dalam masyarakat feodal, kekuasaan didasarkan pada tanah dan hasilnya, dalam realitas politik modern disebut sebagai politik para “Hacienda” yakni mereka yang memiliki lahan dan tanah perkebunan yang luas dan dijaga oleh sekelompok algojo (mandor).
Situasi ini mekanisme kekuasaan berlangsung dalam hubungan atas-bawah, penguasa dan yang dikuasai. Pada abad XVII dan XVIII, kekuasaan dilaksanakan dengan pengawasan dan bukan melalui kewajiban periodik. Sedangkan dalam masyarakat kita (Indonesia) sejak abad XIX, kekuasaan diwarnai oleh berdampingannya wacana kedaulatan dan hukum dengan pemaksaan disiplin yang menjamin kohesi sosial, sehingga kekuasaan memproduksi masyarakat dan individu-individu yang taat pada kekuasaan-negara.
Sehingga dalam perspektif negara, bahwa kekuasaan tak dapat dipisahkan dari relasi yang ada dalam proses transaksi ekonomi, penyebaran pengetahuan, hubungan seksualitas, politik, hukum, pertahanan dan keamanan. Sebab kekuasaan adalah akibat langsung dari pemisahan, perbedaan, ketidaksamaan, ketidak-seimbangan (diskriminasi), dengan kata lain kekuasaan merupakan situasi intern adanya perbedaan.
Dalam kenyataan, perbedaan ini dibentuk dan ada di tengah lingkungan keluarga, pekerjaan, institusi formal, maupun informal, warna kulit, keyakinan, ideology, serta perilaku masyarakat maupun elit. Kekuasaan-elit adalah cara kerja negara yang dilakoni politisinya, sementara kearifan, demokrasi, kritik serta konfrontasi sekalipun adalah sarana pengetahuan untuk mendekatkan pada kekuasaan.
Pertanyaannya adalah kenapa konfrontasi dan kritik menjadi alur pengetahuan mendekatkan pada kekuasaan? Bisa (mungkin) ada beberapa asumsi yang bisa dipakai untuk melacak fenomena ini, (1) Bahwa seseorang sangat tidak mungkin akan memahami relasi kekuasaan dalam rangka hubungan kausalitas, tetapi dalam kerangka tujuan dan sasaran, sasaran dan tujuan ini sama sekali tidak dimiliki oleh individu maupun kelas tertentu, tetapi dalam bentuk anonim dari situasi-situasi lokal yang berkembang.
Seperti kebudayaan dan konflik-konflik yang mewarnainya. Sehingga frase konfrontasi sejatinya dikompromikan sebagai jalan keluar. (2) bahwa secara ekstrim disebutkan, dimana ada kekuasaan selalu ada perlawanan, bukan dalam arti kekuatan yang bersumber dari luar atau yang berlawanan, tetapi karena adanya kekuasaan itu sendiri.
Misalnya, orang mencoret-coretkan grafiti pada tembok yang justru ada tulisan “dilarang mengotori tembok” larangan itu sesungguhnya menjadi manifestasi dari kekuasaan, maka ada perlawanan. Ada pluralitas bentuk perlawanan, seperti kekuasaan yang tidak berasal dari satu sumber, demikian juga perlawanan tidak berasal dari satu tempat.
Sehingga tujuan memahami bentuk perjuangan melawan kekuasaan bukan untuk menyerang institusi kekuasaan, tetapi ada usaha membuka kedok teknik tertentu yang dimiliki kekuasaan yang coba mengelompokkan orang kedalam kategori-kategori dengan mengaitkannya dengan identitas (politik identitas).
Di Indonesia politik identitas demikian menjadi percakapan yang tak pernah usai, banyak tuduhan yang dialamatkan padanya dengan berbagai ekspresi, ada yang sinis bahkan ada pula yang merindukannya. Simbol identitas dalam [praktek kekuasaan dapat dilihat dengan jelas, seperti pencantuman identitas agama agama dalam KTP dan tanda khusus pada KTP warga Tionghoa menjadi bagian teknik dari kekuasaan.
Dan, pada situasi yang dibutuhkan pengelompokan ini bisa digunakan untuk menghasilkan kepatuhan, tentunya kepatuhan secara politis tentunya. Pengelompokan itu adalah diskriminasi, berarti menciptakan ketidaksamaan, dan ini menjadi bagian dari teknik kekuasaan. Sebab, kekuasaan mempunyai pengetahuannya sendiri.
Sebab ciri negatif dari kekuasaan adalah represi, kekerasan, dan manipulasi ideologi. Setidaknya kekuasaan punya batas waktu kejenuhan untuk mengkritisinya kalau kekuasaan itu korup, tiran, otoritarian, serta berkehendak secara politis untuk mengkriminalisasi lawan politiknya yang kebetulan berseberangan.
Di banyak proses politik hal ini tidaklah tabu, sebab realitas politik kadang mempertontonkan situasi yang tidak mencerminkan watak kekuasaan yang sesungguhnya, seperti sikap melayani, mengayomi, melindungi serta memberikan kesejahteraan, bukan membiarkan benih-benih ancaman dan kekerasan di ruang publik.
Karenanya, pengetahuan menginginkan kekuasaan itu lebih orisinil sebagai bagian yang memproduksi realitas. Sehingga kekuasaan tak sekadar dikritik pada aspek tertentu, namun perlu dibangun kesadaran kritis, bagaimana seharusnya kekuasaan itu menghasilkan ritus-ritus kebenaran, sebagai langkah mencegah fitnah, hoax, dan fiktif dalam panggung kekuasaan. (*)