Penulis: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Manusia sering kali terpesona dengan penampakan-penampakan lahiriah yang dilakukan seseorang. Misalnya, ketika seseorang berperilaku dengan maksud agar dianggap sebagai orang yang terhormat, cerdas, atau kaya. Membangun kesan seperti ini, jika tidak berlebihan masih dapat ditoleransi atau tidak apa-apa. Namun, bila dilakukan secara berlebihan dapat dikategorikan sebagai kecintaan pada penghormatan dan dikategorikan sebagai dosa.
Seseorang yang berusaha menampilkan diri agar orang lain menilainya sebagai eksekutif muda yang sukses, misalnya, pakaian yang mahal didesain khusus dan parfum yang digunakan bermerek atau produk luar negeri, kendaraan mewah yang dibeli bukan dengan pertimbangan praktis, melainkan demi gengsi. Hal demikian ini dilakukan dengan maksud agar dia diperlakukan secara istimewa, dapat dikategorikan sebagai kecintaan pada penghormatan.
Seorang muslim, terlarang untuk berusaha mencari penghormatan dari manusia, melainkan yang didambakan adalah rida Allah. Mempertontonkan kebaikan agar dinilai sebagai orang saleh, agama menyebutnya dengan ria. Hal ini terlarang, karena bertentangan dengan keikhlasan. Orang yang demikian tidak hanya menipu diri sendiri, dia pun menipu Allah.
Misalnya, seorang yang beribadah dengan maksud merekayasa kesan agar orang lain menilainya sebagai seorang yang alim. Demikian pula mereka yang menguruskan badan agar terkesan bahwa dia melakukan puasa setiap hari. Atau mereka yang jika di masjid memperbanyak salat sunat, tapi jika seorang diri tidak melakukannya. Semua ini termasuk kategori ria, terlarang oleh agama.
Orang yang ria merekayasa perilakunya dalam ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, agar orang lain menilainya sebagai orang saleh yang taat beragama dan berpegang teguh pada Al-Qura'n dan hadis Nabi. Orang seperti ini tidak ingin disebut orang hebat, berstatus sosial yang tinggi, berpengaruh, dan cerdas. Dia hanya ingin dinilai sebagai orang yang saleh, untuk itu dia merekayasa perilakunya.
Sedangkan orang yang senantiasa memperdengarkan kebaikannya kepada orang lain disebut sumah. Kalau ria berarti mempertontonkan kebaikan, sedangkan sumah memperdengarkan kebaikan kepada orang lain. Misalnya, seseorang yang senang menceritakan kebaikannya bahwa dia telah membantu tetangganya, teman sejawatnya, karib-kerabatnya, bahkan orang lain yang tidak dikenal pun dibantu melalui pemberian dalam jumlah yang cukup besar melalui sedekah, dan pemberian lainnya untuk membangun kesan bahwa dia adalah seorang dermawan.
Berbeda halnya apabila seseorang melakukan kebaikan agar diikuti dan dicontoh orang lain. Hal ini tidak termasuk ria dan sumah karena tetap didasari oleh keikhlasan. Bahkan dapat memperoleh ganjaran dua kali, karena selain kebaikan yang dilakukan, orang lain pun ikut melakukan kebaikan karena mencontoh dan menjadikannya sebagai uswantun hasanah (ikutan yang baik). Hal seperti ini dibenarkan oleh agama.
Antara ria dan bukan ria, antara sumah dan bukan sumah perbedaannya sangatlah tipis. Terpulang kepada hati nurani masing-masing. Misalnya, ada orang yang senantiasa memakai kopiah, untuk menunjukkan bahwa dia seorang yang taat beragama, namun ada juga orang yang melazimkan memakai kopiah untuk menutupi rambutnya yang tipis.
Meskipun hal ini berkaitan dengan hati nurani, sebaiknya penilaian apakah ria atau tidak, apakah sumah atau tidak jangan digunakan menilai orang lain, melainkan digunakan untuk menilai diri sendiri. Apakah Anda termasuk orang yang ria ataukah termasuk orang yang ikhlas? Jawabannya tanyakan pada nurani masing-masing.
Karena itu, meskipun merekayasa kesan yang tidak berkaitan dengan ibadah dapat dibenarkan, namun sebaiknya dihindari agar tidak larut dalam kepura-puraan. Hidup mendambakan sikap konsistensi, bukan kebohongan berbalut janji-janji manis yang direkayasa. (*)