Muhammad Yasir dan Pedagang-Pedagang Kecil

  • Bagikan
Muhammad Yasir Bersama Direktur Harian Rakyat Sulsel Daswar M Rewo

Kehadiran jejaring pasar-pasar ritel mini sekarang ini meredupkan pasar-pasar tradisional, sehingga kekuatan ekonomi di bawah initeramputasi.

Yang kedua menurut Prof. Hafid Abbas bahwa gerak perjuangan Muhammad Yasir itu memang untuk kesejahteraan. Dia melihat apa yang dilakukan Muhammad Yasir itu untuk menguatkan jaringan ekonomi di bawah. "Jadi kalau Indonesia mau dibangun, ikuti pikiran-pikiran besarnya Pak Yasir," kata Prof. Hafid Abbas. Salah satu daerah yang dicontohkan Prof. Hafid Abbas adalah Sumatera Barat, menurutnya di sana jaringan ekonomi di bawah tumbuh sehingga sejahtera dan aman.

Yang ketiga, Prof. Hafid Abbas melihat bahwa sahabatnya itu memiliki kepedulian yang besar terhadap kebudayaan, utamanya kebudayaan Islam yang hidup di kampung-kampung di daerah Bugis. Perkawinan antara kesejahteraan dan kebudayaan itu dengan sendirinya berarti merawat dan menjaga kelestarian nilai-nilai budaya itu sendiri. Kebudayaan yang tumbuh di atas kesejahteraan memungkinkan masyarakat bawah melakukan selebrasi nilai-nilai luhur kebudayaannya hingga pada akhirnya menampakkan ciri kebudayaan yang unggul.

Lebih jauh lagi, Muhammad Yasir memastikan keterjagaan selebrasi budaya Islam dengan menghadirkan arena perayaannya. Pembangunan Masjid Nurul Alawiyah di Lapanning di Bone itu misalnya, adalah persembahan kepada masyarakat sehingga mereka memiliki panggung selebrasi nilai-nilai kebudayaan Islam. Selain fungsi utamanya untuk peribadatan, masjid ini sekaligus arena selebrasi nilai-nilai kebudayaan Islam melalui perayaan hari-hari besar Islam
Seperti Idul Fitri, Idul Adha, acara kurban, Isra Mikraj, Maulid Nabi Muhammad SAW dan lain sebagainya.

Demilian juga halnya di tempat lain yang tersentuh intervensi pembangunan yang dinisiasi oleh Muhammad Yasir. Jika kesejahteran pedagang-pedagang kecil yang dalam bahasa Prof. Hafid Abbas adalah bagian dari masyarakat bawah itu mengalami peningkatan, maka selebrasi nilai-nilai kebudayaan mereka akan lebih meriah juga, lebih besar juga. Pada akhirnya, secara sosial kebudayaan, nilai-nilai budaya yang unggulan mengalami persebaran di antara sesama anggota komunitas masyarakat itu, sehingga akan mengemuka ke kancah sosial yang lebil luas.

Mengambil contoh Sumatera Barat, Prof. Hafid Abbas menyayangkan beberapa sektor kebudayaan kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Misalnya beberapa sekolah yang telah berusia seratusan tahun itu kurang mendapatkan sentuhan tangan pemerintah sehingga nasibnya disayangkan. Padahal menurutnya, sekolah-sekolah itu telah banyak menamatkan orang-orang besar yang berjasa bagi negara ini, sebut saja Mr. Asaat misalnya, alumni sekolah-sekolah itu pernah menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) atau Muhammad Natsir, Perdana Menteri kelima Indonesia. “Saya melihat banyak sekali sekolah-sekolah di sana karena mungkin belum disentuh pikirannya Pak Yasir sehingga lumayan terbengkalai," kata Prof. Hafid Abbas.

Benang merah yang ingin dibentangkan oleh Prof. Hafid Abbas di sini adalah bahwa pemerintah lebih memperhatikan persoalan di level atas, sehingga bergeraknya di atas, kontras dengan apa yang menjadi perjuangan Muhammad Yasir yaitu untuk masyarakat kalangan bawah. Di domain masyarakat bawah tidak ada dukungan pemerintah yang signifikan terhadap sekolah-sekolah ini sehingga miskin, mutu SDM jadi rendah, pelan-pelan terpuruk, tertinggal, dan kurang bisa bersaing dengan sekolah negeri yang relatif baru.

  • Bagikan

Exit mobile version