TAKALAR, RAKYATSULSEL - Meski diduga tak mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), krim pemutih bermerek DR Dosting masih beredar bebas di wilayah Kabupaten Takalar.
“DR Dosting ini diduga mengandung bahan merkuri, dan belum miliki izin edar dari BPOM, sehingga kami mendesak pihak BPOM untuk segera menarik dari pasaran prodak kecantikan tersebut,” kata wakil Ketua DPW Lankoras-Ham Sulsel, Adinusaid, Selasa (14/11/2023).
Dia mengatakan bahwa besarnya potensi pasar industri kecantikan membuat usaha di bidang ini tumbuh subur di Takalar. Sayangnya, masih ada pemain ilegal yang turut bermain dengan mengabaikan aturan perundang-undangan.
“Hal ini tentunya menjadi tantangan semua istansi terkait untuk mengawasi dan menghentikan peredaran kosmetik ilegal tersebut, agar masyarakat terlindungi dan terbebas dari zat bahan kimia berbahaya,” tambahnya.
Selain itu, Adi Nusaid Rasyid juga mengatakan bahwa bisnis kosmetik tersebut juga sangat menggiurkan, lantaran omzetnya per bulan bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
“Tidak ada larangan bagi para pengusaha untuk berbisnis, itu hak mereka, tetapi harus yang legal. Kasihan pengusaha yang menggunakan cara dan proses yang benar, karena mengurangi pasar dan mencederai merek jika ada yang dipalsukan. Belum lagi pemerintah kehilangan pemasukan lewat pajaknya,” terangnya.
Selain itu tambah Adi Nusaid Rasyid, bahwa para pelaku yang memproduksi dan mengedarkan obat, kosmetik, suplemen kesehatan dan obat tradisional ilegal yang mengandung bahan kimia. Para pelaku dapat dipidana Pasal 196 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang diubah dengan Pasal 60 UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 1,5 miliar.
Kemudian untuk para pelaku yang memproduksi dan mengedarkan produk pangan ilegal mengandung bahan kimia obat dapat dipidana Pasal 136 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda sebanyak Rp 10 miliar.
Selain itu pasal 140 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan ancaman pidana sebesar dua tahun kurungan dan denda paling banyak Rp 4 miliar. (Adhy)