Penulis: Muhammad Ahsan Thamrin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Tidak lama lagi atau tepatnya 14 Februari 2024, bangsa Indonesia akan melaksanakan pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Pelaksanaan kampanye Pemilu 2024 sudah dimulai pada 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024.
Kampanye adalah wahana untuk menawarkan visi, misi, dan program masing-masing peserta pemilu untuk mendapatkan suara pemilih. Kampanye dapat dilakukan dengan berbagai macam cara seperti pertemuan tatap muka, pemasangan alat peraga kampanye di tempat umum, pemasangan iklan media cetak dan media elektronik, maupun melalui debat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Media sosial seperti Facebook, WhatsApp, Instagram, Twitter, Tiktok dan lainnya tampaknya akan menjadi pilihan utama kampanye oleh tim sukses masing-masing paslon untuk memenangkan pertarungan memperebutkan suara pemilih. Uang ratusan miliar akan digelontorkan untuk kampanye digital ini. Media sosial akan kembali menjadi panggung para buzzer sewaan untuk meramaikan kampanye pemilu. Mereka akan membanjiri media sosial kita dengan foto, video, link berita yang memuat narasi sedemikian rupa apakah itu dalam bentuk dukungan terhadap capres tertentu maupun yang menyerang capres lain.
Sebagaimana pengalaman Pemilu 2019, maka hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) akan kembali marak dalam Pemilu 2024. Perang propaganda yang masif akan kembali terjadi di media sosial di antara para buzzer (yang mereka dibayar maupun gratisan) oleh masing-masing pendukung capres.
Kampanye melalui media sosial yang banyak dilakukan oleh tim sukses paslon dengan menggunakan para buzzer selama ini lebih mengarah kepada pembodohan dan penggiringan opini. Penggunaan media sosial untuk kampanye dengan menggunakan jasa buzzer akan membuat semakin banyak hoaks yang diproduksi, direproduksi, dan didistribusikan untuk kepentingan pemenangan pemilu. Publik dan pemilih menjadi tidak rasional. Isu-isu kampanye yang seharusnya mengelaborasi visi, misi, dan program masing-masing paslon, berubah menjadi penyampaian berita bohong dan ujaran kebencian.
Hoaks membuat kebenaran dan kebohongan semakin sulit dibedakan oleh masyarakat. Berbagai kebohongan yang muncul selama pemilu dan diterima oleh publik, bukan karena keterbatasan informasi akan tetapi karena membanjirnya informasi (information overload). Ini membenarkan tesis bahwa kebohongan yang terus diulang-ulang akhirnya akan diterima sebagai kebenaran.
Sebenarnya hoaks dan hate speech diketegorikan sebagai kampanye hitam (black campaign) dan kampanye negatif (negative campaign) yang dilarang selama pelaksanaan kampanye pemilu. Tetapi, regulasi tidak berdaya menghadapi makin maraknya hoaks dan hate speech tersebut.
Walaupun sudah ada Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengatur tentang hal tersebut, namun ujaran kebencian di medsos sangat sulit untuk dilacak apalagi kalau menggunakan akun palsu (fake account).
Partai politik seharusnya mendorong kampanye yang bermartabat dan beretika, serta lebih mengedepankan adu program, adu konsep, adu gagasan sebagai bagian dari pendidikan politik yang bermartabat. jangan sampai persatuan dan kebhinnekaan hilang hanya gara-gara Pilpres. Jangan hanya gara-gara pilihan politik yang diekspresikan berlebihan dan kontra produktif bisa mengganggu kebhinnekaan, persatuan, persaudaraan sesama anak bangsa.
Pemilu sebagai pesta demokrasi seharusnya mempersatukan kita bukan justru menciptakan polarisasi. Jangan lagi terulang istilah cebong untuk pendukung Jokowi dan kampret untuk pendukung Prabowo terulang kembali sebagaimana dalam Pemilu 2019.
Hoaks dan ujaran kebencian adalah bagian dari upaya kampanye untuk menyentuh emosi pemilih agar mendukung atau membenci capres tertentu. Di sini yang dimainkan adalah emosi publik. Mereka yang tersentuh emosinya biasanya akan tergerak untuk membagikan kembali berita hoaks demi mengangkat pamor capres pilihannya dan menjatuhkan capres lawan.
Rakyat seharusnya belajar dari Pemilu 2019 yang terbelah menjadi cebong dan kampret. Rakyat jangan lagi mau diajak bertengkar oleh para buzzer yang tidak bertanggung jawab, oleh elit politik yang hanya mementingkan kekuasaan namun tidak memperdulikan nasib rakyat. Percayakan nasib Anda kepada diri Anda sendiri, bukan kepada politisi.
Mulai sekarang lebih baik kita hindari debat kusir di sosial media. Jangan mudah percaya pada hoaks. Selektiflah dalam melihat berita. Katakan "tidak" pada dunia yang direkayasa untuk konflik perang dan terorisme atas nama agama. Kita semua adalah rakyat. Kita adalah bersaudara. Kita tidak selayaknya saling membenci, berkelahi apalagi sampai menghancurkan. Tuhan menciptakan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal mengenal dan hidup secara damai berdampingan (QS. Al hujurat ayat 13). (*)