BOLEH percaya atau tidak sebagian besar para pemimpin politik kita saat ini sepertinya sudah tidak peduli terhadap proses demokrasi dan hukum yang sedang mengalami fase sangat buruk karena perilaku dan kepentingan kekuasaan semata.
Padahal, kita berharap bahwa di tangan para pemimpin politiklah maka kekuasaan negara akan bisa berjalan sesuai dengan aturan main yang telah disepakati, bukan untuk kemudian merubah karena adanya kepentingan pragmatis yang mendasari atau menyertainya.
Tentu para pemimpin politik akan sangat tahu bahwa bagaimana mungkin menyerahkan pengelolaan negara, apatah lagi negara Indonesia yang begitu besar dan masalahnya begitu kompleks ke tangan calon pemimpin yang belum benar-benar teruji dalam kepemimpinannya. Semua yang dilakukan hanya berkat endorse atau dukungan dari kekuasaan dan bukan karena rekam jejak pengalaman yang panjang.
Para pemimpin politik seharusnya berpikir dan menjadi penentu masa depan kelangsungan bernegara, bahwa keberlangsungan bernegara ini tidak boleh dilakukan secara main-main. Di tangan mereka lah keputusan penting itu harus diambil dan dilakukan. Sebab, bila semuanya hanya diam dan membisu serta pasrah akan keadaan yang terjadi maka tentu saja kita bertanya kepada siapa lagi kita berharap untuk memperbaiki kerusakan demokrasi dan apatah lagi proses penegakan hukum yang sepertinya tidak berkepastian.
Benarlah kata sebagian besar orang bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pemilihan presiden yang akan dijalankan maret 2024 tentu saja akan ditandai dengan proses kompetisi yang sengit diantara tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden dan kata banyak pengamat bahwa proses pemilu kali ini cenderung tidak akan berjalan sesuai dengan prinsip dasar atau asas pemilu yakni, jujur dan adil serta demokratis.
Kita berharap banyak kepada para pemimpin politik bahwa proses demokrasi yang sedang berjalan sekarang ini tidak dirusak hanya untuk memenuhi hasrat berkuasa semata, meskipun dengan berbagai cara yang tidak sesuai dengan norma aturan yang ada maupun dengan fatsoen dan etika politik.
Sejatinya para pemimpin politik yang ada sekarang ini seharusnya mengambil peran penting untuk tidak terlibat dalam proses kerusakan demokrasi. Sebab, kalau itu yang terjadi maka kemudian kita akan mengalami fase panjang untuk bisa memulihkan kembali proses demokrasi yang jujur dan adil serta demokratis.
Seharusnya para pemimpin politik bisa membawa proses demokrasi ke arah yang lebih baik, bukan justru bersepakat apapun terjadi yang penting kekuasaan bisa diraih apapun akibatnya. Jalan panjang untuk memulihkan demokrasi bisa berjalan dengan baik, dalam arti bisa dilakukan secara jujur dan adil serta demokratis telah diletakkan dalam tiga bingkai perjalanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertama, kita telah melalui fase politik orde lama melalui demokrasi terpimpin yang memberi penyadaran bahwa harus kembali kepada UUD 1945 melalui dekrit presiden tanggal 5 Juli 1959.
Kedua, fase orde baru yang ditandai dengan sentralisasi pengaturan serba negara yang menandai pentingnya ruang kebebasan dalam berserikat dan berkumpul, sehingga melahirkan demonstrasi mahasiswa dan meminta presiden untuk mengundurkan diri.
Ketiga, fase orde reformasi yang ditandai dengan perbaikan tatanan bernegara hukum dan demokrasi melalui perbaikan sistem ketatanegaraan dengan melakukan amademen UUD 1945 dan menerapkan kebijakan otonomi daerah.
Apa yang dihasilkan dari proses perjalanan bangsa dan negara tersebut seharusnya menyadarkan para pemimpin politik kita bahwa proses membangun negara demokrasi yang berdasar atas hukum atau negara hukum yang demokratis itu tidaklah mudah, sehingga butuh komitmen kuat dan tidak mudah goyah akan hasrat kekuasaan yang begitu menggoda dan bisa lupa diri, padahal kekuasaan itu pada dasarnya ada batas waktunya atau limitasinya.
Dalam arti, kalau waktunya sudah tiba maka tidak akan ada dan yang bisa dilakukan untuk bisa mempertahankan kekuasaan. Suka atau tidak kekuasaan akan berakhir bila tiba masa akhir jabatan dan sesudah itu hanya satu pertanyaan yang tersisa, apakah akan dikenang dengan baik oleh masyarakat ataukah sebaliknya dicaci maki sepeninggal berkuasa dan untuk itu tentu saja waktu yang akan bisa menjawabnya. (*)
OLEH: Aminuddin Ilmar
Pakar Hukum Unhas