MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Menjelang pesta demokrasi tahun 2024, isu mengenai politik uang atau money politic kembali mencuat ke publik. Mengingat salah satu jurus terakhir para politikus untuk mendapatkan suara masyarakat di Tempat Pemungutan Suara (TPS) adalah dengan memberikan uang.
Politik uang sendiri dalam proses pesta demokrasi Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah sebab sering kali ditemukan baik pelaksanaan Pemilu, Pileg, maupun Pilkada.
Pengamat Hukum dan Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Profesor Amir Ilyas mengatakan politik uang pada pesta demokrasi tahun 2024, utamanya di masa kampanye masih akan tetap terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya. Bedanya hanya ruang dan waktu untuk melakukan politik uang dari calon atau tim kampanye sedikit sempit, mengingat waktu kampanye saat ini cukup singkat yakni 75 hari.
"Rata-rata kalau kita banyak belajar di tahun sebelumnya, politik uang itu banyak dilakukan oleh Caleg DPRD Kabupaten/Kota dengan mengingat perebutan suaranya untuk calon pemilih sangat ketat persaingannya diantara calon. Jarang kita mendapatkan politik uang dengan tujuan agar memilih paslon presiden/wakil presiden tertentu," ungkap Amir saat diwawancara Rakyat Sulsel, Minggu (17/12/2023).
Begitu juga dengan modusnya, Amir mengatakan, masih akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Pembagian amplop berisikan uang kepada masyarakat biasanya dilakukan saat pelaksanaan kampanye, dimana masyarakat diberi uang dengan dalil uang transportasi atau uang makan.
"Dan tak ketinggalan juga, praktik bagi-bagi sembako juga sering mewarnai dengan sasaran penerimanya ibu-ibu yang tinggal di pelosok desa," sebut dia.
Meski begitu, di era teknologi ini, Prof Amir juga mengingatkan, pihak pengawas atau Bawaslu untuk peka. Sebab kemunculan beberapa platform pembayaran digital dikawatirkan bisa dimanfaatkan dalam transaksi jual beli suara.
"Ada yang sulit nantinya dicegah oleh Bawaslu, terutama yang melakukan politik uang dengan model pembayaran digital, misalnya OVO. Jadi nanti ada model-model politik uang yang berubah bentuk dengan apa yang disebut E-money politic,'' imbuh Amir.
Sejauh ini pengawasan akan praktik politik uang oleh lembaga pengawas atau Bawaslu disebut sudah dilakukan. Hanya saja masih ada oknum pengawas yang membiarkan hal itu terjadi.
"Soal pengawasan, saya kira sudah lengkap kita punya perangkat, ada Panwas Kecamatan, Panwas Kelurahan/Desa. Hanya saja Panwas ini kerap membiarkan praktik politik uang, meski diketahui, Panwas malas berurusan dengan mereka, apalagi yang bertindak sebagai pemberi adalah keluarga panwas tersebut," ujar dia.
Upaya pencegahan politik uang menurutnya harus dimulai dari pembenahan integritas para pengawas, termasuk konsistensi dalam menjalankan aturan. Panwas disebut harus punya keberanian untuk menginvestigasi sekaligus memproses hukum kasus-kasus politik uang.
"Tapi sayangnya, pemilu kali ini mungkin akan seperti saja tahun-tahun sebelumnya. Ada banyak temuan dan laporan politik uang, semua berakhir di hasil kajian, tidak terbukti sebagai tindak pidana pemilu," ucap Amir . (Isak Pasa'buan/B)