Penulis: Saifuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sebuah ungkapan yang terus menggelayut dalam benak dan pikiran kita tentang “Jas Merah”-jangan lupakan sejarah. Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun lamanya pada akhirnya jatuh juga karena gerakan mahasiswa tahun 1998 yang dikenal dengan sebutan Reformasi 98.
Tragedi ini adalah kemustahilan dalam gerakan politik dengan mempertimbangkan bahwa Jenderal Bintang Lima Soeharto dengan legowo memutuskan dirinya mundur dari jabatan presiden setelah komponen masyarakat sudah tidak mempercayainya lagi.
Tentu gerakan tersebut bukan tanpa alasan mengingat kekuatan politik Orde baru tidak harus dipandang sebelah mata setelah kekuasaan itu menjadi despotik. Bermula dari krisis moneter dengan pelemahan mata uang rupiah yang berakibat pada tingginya harga bahan pokok di tahun 1997.
Riak-riak gerakan telah mulai muncul. Mimbar akademik sudah mulai digelar di beberapa kampus. Ada Sri Bintang Pamungkas, Amin Rais, kalangan anak muda ada Budiman Sudjatmiko, Adian Napitupulu, Fahri Hamzah, Fadli Zon, Fadjloer Rachman dan beberapa tokoh muda yang lainnya.
KKN (Kolusi Korupsi Nepotisme) menjadi instrumen isu sekaligus senjata perlawanan parlemen jalanan untuk terus bergerak meneriakkan yel-yel reformasi. Gerakan tersebut bukan hanya terpusat di ibukota Jakarta, tetapi letupannya hingga ke berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Sehingga dengan masifnya gerakan tersebut, terjadi penjarahan di mana-mana, pembakaran serta tindakan anarkis lainnya sehingga memicu bahwa negara dalam keadaan yang mengkhwatirkan.
Muncullah berbagai intimidasi, tekanan bahkan penculikan beberapa aktivis yang dianggap vokal menentang rezim Orde Baru. Namun, suara perubahan tak pernah berhenti menggema, hingga pendudukan kantor MPR/DPR RI di duduki oleh massa.
Dan, tepatnya tanggal 21 Mei 1998 Soeharto sebagai presiden mengumumkan pengunduran dirinya. Dan, fase itu dianggap sebagai lahirnya Orde Reformasi.
Reformasi yang Tertatih-tatih
Menurut Benedict Anderson, bahwa Reformasi 98 merupakan revolusi kaum muda. Sebuah gerakan yang dipelopori anak-anak muda dari kampus yang berbasis intelektualisme. Fungsi kampus sebagai social control menjadikan gerakan reformasi begitu masif menggaung di berbagai pelosok negeri.
Reformasi sebagai jalan baru dalam memperbaiki tatanan sistem dan tata kelolah pemerintahan yang korup menuju good governance--terus mengalami perubahan dan perkembangan. Walau dalam perjalanannya tidak seindah yang kita bayangkan. Dari berbagai pandangan yang ada, ada yang memandang bahwa reformasi ibarat pohon hanya memangkas dahan dan rantingnya saja, tetapi akarnya tetap kokoh.
Berbeda dengan pandangan revolusioner yang memandang bahwa perubahan itu harus total dari bawah ke atas ibarat pohon bukan hanya dahan dan ranting tetapi harus sampai ke akarnya.
Hal ini bisa kita pertanyakan apakah agenda reformasi hari ini masih sesuai cita-citanya? Apakah para Aktivis 98 masih idealis seperti awal mula gerakan reformasi? Apakah era Reformasi saat ini bersih dari KKN? Semua pertanyaan tersebut sesungguhnya mencoba membawa reformasi ke habitusnya semula.
Gerakan reformasi pada prinsipnya telah membuka ruang yang lebar bagi tumbuhnya kesadaran politik dan tingkat partisipasi dalam berdemokrasi, termasuk partisipasi aktif dalam mendorong proses pembangunan. Kesadaran politik itu ditandai dengan munculnya berbagai partai politik untuk ikut serta dalam pemilu tahun 1999 sebagai tonggak awal pemilu di era reformasi.
Kebebasan berpendapat dan berekspresi kian terbuka lebar. Artinya kesadaran demokratis demikian tinggi. Namun secara alamiah kesadaran politik dan demokratis itu semakin menurun, akibat lemahnya partisipasi rakyat di satu sisi, dan kekuatan oligarkhis di sisi yang lain.
Ini sebuah fenomena terbaru sekaligus terburuk dalam masa usia reformasi ke 25 tahun. Pendeknya, kalau di tahun 1998 kita tolak KKN, tetapi faktanya di era saat ini justru jauh lebih brutal dari era Orde Baru yakni NKK (Nolong Kawan dan Keluarga), padahal negara telah membentuk lembaga antirasuah seperti KPK ternyata korupsi semakin subur, yang bukan hanya dilalukan oleh eksekutif, tetapi juga legislatif dan bahkan pihak ketiga pun terlibat seperti para pengusaha.
Ini bisa dibilang sebagai korpotokrasi yakni sebagai persekongkolan antara pemerintah (eksekutif), anggota DPR dan pengusaha (oligarkis) dalam melakukan tindak pidana korupsi.
Perilaku koruptif bukan hanya melanggar undang-undang, tetapi juga sekaligus mencederai cita-cita reformasi. Negara telah membentuk beberapa lembaga untuk mencegah tindakan korupsi, tetapi korupsi semakin menggila.
Itu artinya “kesadaran kemanusiaan” begitu lemah dan dikendalikan oleh hasrat kekuasaan dengan perilaku hedonis, oportunis, dan pramagtis. Jadi benar ungkapan Lord Eaton “pastend to corrupt, corrupt and absolutelly power corrupt”.
Perilaku gaya hidup seperti hedonis sebagai diungkapkan Marthin Heideegar, adalah suatu perilaku sebagai manusia konsumeristik yang cenderung tampil dengan gaya/fashion mewah, untuk memperlihatkan kelas sosialnya yang berbeda dengan yang lainnya.
Produk ini nampak begitu rupa, kasus korupsi seorang pejabat negara seringkali melibatkan istri, anak, dan cucu. Ini boleh dibilang sebagai mata rantai korupsi dinastokrasi.
Fenomena ini tentu sangat mengkhwatirkan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab fenomena KKN atau NKK semakin menyeruak di permukaan. Partai politik pun tidak luput dari perilaku koruptif tersebut walau hanya sebagai perilaku persona tetapi keterwakilan politiknya adalah membawa nama partai politik. Posisi ini yang kemudian partai politik mengalami distrust publik (ketidakpercayaan publik).
Pemilu akan digelar. Akankah publik masih tertarik dengan partai yang korup? Ini kembali pada edukasi politik, termasuk edukasi yang dilakukan oleh KPU-Bawaslu bahwa perlunya kesadaran politik rakyat. Logikanya, semakin tinggi kesadaran politik rakyat, maka semakin tinggi kualitas demokrasi.
Karena itu, pemilihan umum hanya agenda lima tahunan, bukan agenda perubahan yang sesungguhnya. Sebagaimana kata Frans Magnis Suseno; “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”.
Sebab itu, proses demokrasi bukan semata pergantian kepemimpinan nasional (suksesi nasional) akan tetapi pemilu setidaknya adalah sebuah proses pergeseran paradigma politik dari yang korup ke politik yang berwibawa. Dan itulah esensi demokrasi yang sesungguhnya bagaimana melahirkan satu tatanan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Tanpa itu saya kira demokrasi akan terus di preteli demi kepentingan sesaat. Dengan demikian demokrasi harus di selamatkan melalui pemilu dengan kesadaran politik rakyat yang kuat sehingga demokrasi mampu terbangun tanpa harus di utak atik dengan alasan ambisi dan birahi kekuasaan. (*)
Penulis adalah Direktur Eksekutif LKiS