MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Praktik politik uang (money politic) kerap tak bisa dihindari dalam setiap kontestasi politik. Beragama modus dilancarkan demi memastikan suara calon pemilih. Dari bagi-bagi sembako, pasar murah, hingga terang-terangan melakukan 'serangan fajar'. Badan Pengawas Pemilu sering tak berkutik menghadapi beragam modus tersebut.
Sumirnya aturan mengakibatkan banyaknya transaksi politik uang kerap tidak dapat ditindak oleh pengawas pemilu. Salah satu praktik yang sering terjadi adalah pasar murah yang digelar politikus atau partai politik.
"Tim sukses atau penyelenggara (kampanye) itu pasti akan berusaha mencari cara untuk tidak masuk dalam jebakan politik uang," kata pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Naharuddin, Minggu (17/12/2023).
Menurut dia, pasar murah dapat dikatakan sebagai money politic apabila dalam pelaksanaannya menyertakan nama calon, logo partai, hingga ajakan untuk memilih peserta pemilu. Naharuddin mengatakan, tindakan tersebut adalah praktik politik uang dalam bentuk lain.
Naharuddin menilai, kontestasi politik masih sangat sulit terlepas dari praktik politik uang. Alasannya, kondisi kesejahteraan masyarakat yang kerap menjadi alasan.
"Padahal seharusnya demokrasi itu berbanding lurus dengan kondisi ekonomi masyarakat sebagai calon pemilih. Kalau ada ketimpangan, maka politik uang sulit untuk dihilangkan," ujar dia.
Pengamat hukum dan politik dari Unhas, Profesor Amir Ilyas mengatakan isu mengenai politik uang akan terus mencuat ke publik. Alasannya, kata dia, hal itu merupakan salah satu jurus terakhir para politikus untuk mendapatkan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Politik uang dalam proses pesta demokrasi Indonesia sudah menjadi hal yang lumrah sebab sering kali ditemukan baik pelaksanaan Pemilu, Pileg, maupun Pilkada.
Amir mengatakan politik uang pada pesta demokrasi tahun 2024, utamanya di masa kampanye masih akan tetap terjadi seperti tahun-tahun sebelumnya. Bedanya hanya ruang dan waktu untuk melakukan politik uang dari calon atau tim kampanye sedikit sempit, mengingat waktu kampanye saat ini cukup singkat yakni 75 hari.
"Rata-rata kalau kita banyak belajar di tahun sebelumnya, politik uang itu banyak dilakukan oleh Caleg DPRD Kabupaten/Kota dengan mengingat perebutan suaranya untuk calon pemilih sangat ketat persaingannya diantara calon. Jarang kita mendapatkan politik uang dengan tujuan agar memilih paslon presiden/wakil presiden tertentu," kata Amir.
Begitu juga dengan modusnya, Amir mengatakan, masih akan sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Pembagian amplop berisikan uang kepada masyarakat biasanya dilakukan saat pelaksanaan kampanye, di mana masyarakat diberi uang dengan dalil uang transportasi atau uang makan.
"Dan tak ketinggalan juga, praktik bagi-bagi sembako juga sering mewarnai dengan sasaran penerimanya ibu-ibu yang tinggal di pelosok desa," imbuh dia.
Meski begitu, Amir mengatakan, di era teknologi pihak pengawas atau Bawaslu diminta untuk peka. Sebab kemunculan beberapa platform pembayaran digital dikhawatirkan bisa dimanfaatkan dalam transaksi jual beli suara.
"Ada yang sulit nantinya dicegah oleh Bawaslu, terutama yang melakukan politik uang dengan model pembayaran digital, misalnya OVO. Jadi nanti ada model-model politik uang yang berubah bentuk dengan apa yang disebut E-money politic,'' ujar Amir.
Sejauh ini pengawasan akan praktik politik uang oleh lembaga pengawas atau Bawaslu disebut sudah dilakukan. Hanya saja masih ada oknum pengawas yang membiarkan hal itu terjadi.
"Soal pengawasan, saya kira sudah lengkap kita punya perangkat, ada Panwas Kecamatan, Panwas Kelurahan/Desa. Hanya saja Panwas ini kerap membiarkan praktik politik uang, meski diketahui, Panwas malas berurusan dengan mereka, apalagi yang bertindak sebagai pemberi adalah keluarga panwas tersebut," kata dia.
Upaya pencegahan politik uang menurutnya harus dimulai dari pembenahan integritas para pengawas, termasuk konsistensi dalam menjalankan aturan. Panwas disebut harus punya keberanian untuk menginvestigasi sekaligus memproses hukum kasus-kasus politik uang.
"Tapi sayangnya, pemilu kali ini mungkin akan seperti saja tahun-tahun sebelumnya. Ada banyak temuan dan laporan politik uang, semua berakhir di hasil kajian, tidak terbukti sebagai tindak pidana pemilu," imbuh Amir.
Komisioner Bawaslu Sulsel dari Divisi Pencegahan dan Partisipasi Masyarakat, Saiful Jihad mengatakan pembagian kupon belanja untuk pasar murah bukan model money politik dalam kegiatan kampanye. Menurut dia, pasar murah yang dalam PKPU disebut sebagai bentuk lain kegiatan kampanye.
Di PKPU, lanjut Saiful, hal tersebut disebutkan sebagai salah satu bentuk kampanye lainnya. Dia pun mengakui hal tersebut berpotensi menjadi praktek money politic jika berisi ajakan atau mewajibkan masyarakat untuk memilih peserta pemilu tertentu.
"Inilah sebenarnya yang kadang membuat pihak Bawaslu merasa terlalu banyak ruang yang potensi dimaknai politik uang," imbuh Saiful.
Menurut dia, pasar murah boleh dilakukan. Hal itu sama dengan kegiatan lomba yang tidak ada pembatasan maupun besaran hadiahnya.
Adapun, komisioner Bawaslu Sulsel dari Divisi Penanganan Pelanggaran, Abdul Malik berpandangan sama. Menurut dia, dalam PKPU jelas menerangkan bahwa tindakan tersebut masuk dalam kegiatan kampanye yang hanya diizinkan dilakukan pada saat masa tahapannya.
"Menyebut hal itu pelanggaran atau bukan pelanggaran tentu membutuhkan analisis hukum yang komprehensif. Harus terpenuhi unsur formil dan materil suatu perbuatan. Dan juga bukti-buktinya harus valid," ujar Malik.
Pun, jika hal tersebut dilaporkan sebagai pelanggaran, sambung Malik, pihak Bawaslu akan mengidentifikasi aturan-aturan yang dilanggar oleh peserta pemilu yang bersangkutan apakah termasuk praktek money politic atau tidak.
"Jika suatu peristiwa dilaporkan, dilakukan dulu kajian awal untuk memeriksa keterpenuhan syarat formil dan syarat materilnya laporan tersebut, baru kemudian diplenokan jika mengandung dugaan pelanggaran," beber dia.
Malik mengatakan Bawaslu selalu hadir dalam setiap kegiatan kampanye peserta pemilu demi menjamin tidak ada pelanggaran yang dilakukan.
"Setiap kegiatan kampanye yang dilaksanakan oleh pelaksana kampanye, pengawas pemilu melakukan pengawasan langsung, termasuk di dalamnya adalah penelusuran atas peristiwa yang menjadi informasi awal," kata dia.
Sementara itu, Bawaslu Kota Makassar sampai saat ini belum melakukan pemeriksaan terhadap calon Legislatif (Caleg) DPR RI Partai Gerindra, Haris Titti yang diduga melakukan kampanye di rumah ibadah.
“Belum (lakukan pemeriksaan) karena kami baru akan melakukan koordinasi dengan Bawaslu provinsi,” kata Komisioner Bawaslu Kota Makassar, Rahmat Sukarno.
Menurut dia, koordinasi itu dilakukan untuk menentukan pihak yang akan melakukan penangan pelanggaran, apakah Bawaslu provinsi atau diserahkan ke Bawaslu Makassar, mengingat kejadian tersebut berada di Kota Makassar, tapi melibatkan caleg DPR RI.
Sebelumnya, caleg dari Partai Gerindra bernama Aris Titti diduga berkampanye pada salah satu gereja di Kota Makassar. Aksi tersebut terekam hingga viral di media sosial. Video berdurasi 1,42 menit itu sedang berada di depan jemaat mengenakan baju batik memegang mikrofon sembari memperkenalkan dirinya.
Dalam video itu, Aris menyebut dirinya sudah 13 tahun berpolitik di Partai Gerindra dan menyampaikan sudah diamanahkan menjadi Ketua Panitia Natal tahun ini. Ia bahkan memperkenalkan dirinya mencalonkan diri maju di DPR RI hingga mengaku diberi nomor urut tujuh oleh Partai Gerindra. (Isak Pasa'buan-Suryadi-Fahrullah/C)