Penulis: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Seiring dengan perjalanan waktu, kita sering diperhadapkan dengan berbagai anggapan tentang makna maupun mitos tentang waktu. Pada saat datangnya tahun baru, ada yang berusaha menyambutnya dengan cara-cara tertentu.
Ia beranggapan bahwa tahun baru itu dapat memengaruhi nasibnya baik atau buruk, beruntung atau celaka, bahagia atau sengsara. Akibatnya perjalanan waktu menjadi sesuatu yang mencemaskan sekaligus penuh harapan.
Islam memandang waktu adalah karunia Allah untuk diisi dengan amal saleh. Islam tidak diukur dari lamanya seseorang diberi kesempatan hidup, melainkan banyaknya waktu yang digunakan untuk melakukan amal saleh. Dalam Alquran Allah bersumpah selain dengan benda-benda langit, juga bersumpah dengan waktu.
Misalnya “Wadh Dhuha” (demi waktu dhuha), wal ‘Ashr (demi masa). Para ahli tafsir berbeda dalam mengartikan ayat yang berkaitan dengan waktu. Misalnya ada yang mengartikan bahwa wal-“Ashr menunjuk kepada zaman Rasulullah, Allah bersumpah dengan zaman Rasululullah. Ada pula yang beranggapan bahwa Al-‘Ashr adalah waktu Asar.
Terlepas dari kedua pandangan tersebut, ada pandangan yang mengatakan bahwa zaman seperti halnya dengan tempat, tidak ada yang jelek dan tidak ada yang baik. Tidak ada waktu yang mulia tidak ada waktu yang hina.
Seluruh waktu dan tempat sama derajatnya. Lalu apa yang menyebabkan satu waktu mempunyai nilai yang lebih tinggi dari yang lain? Yang membedakan adalah adanya peristiwa yang berkaitan dengan waktu itu. Satu tempat juga menjadi mulia dari tempat yang lain, karena adanya kejadian atau peristiwa yang berkaitan dengan waktu itu.
Sekiranya Rasulullah Saw. tidak lahir di Mekah dan Ibrahim ‘Alaihissalam tidak membangun ka’bah di situ, maka kota Mekah sama nilainya dengan kota-kota lain di dunia. Mekah menjadi mulia karena di situ ada peristiwa besar.
Waktu-waktu dalam hidup kita pun sama semuanya, tetapi ada waktu-waktu tertentu dalam sejarah hidup seseorang mempunyai nilai yang lebih tinggi. Kita menghormati waktu itu karena berkenaan dengan peristiwa yang sangat penting yang terjadi dalam hidup kita.
Ada orang yang menganggap bahwa hari pernikahannya menjadi hari yang sangat penting. Jika dia melihat tanggal tersebut pada kalender, dia tersentak karena mengingat bahwa tanggal tersebut adalah tanggal yang historis baginya.
Hal seperti ini juga menimpa kepada setiap orang di saat lebaran, Tahun Baru dan semacamnya bukan saja di negeri kita, melainkan di negara-negara lain, menapak tilas kembali jejak peristiwa yang ada di kampung ada kerinduan primordial di sana, meskipun dia tidak memiliki rumah dan tempat tinggal, namun tetap rindu untuk menapak tilas kembali perjalanan hidup yang pernah dialaminya dahulu.
Bukankah kita mengenal dan sering menyebut yang dinamakan nostalgia? Ketika orang kembali ke tempat-tempat tertentu sekedar mengingat kembali peristiwa masa lalu karena tempat itu punya makna tersendiri buat dirinya. Karena itu, makna waktu dan makna tempat bersifat nisbi atau relatif tergantung bagaimana memaknainya.
Memperingati hari-hari tertentu bukan karena keistimewaan harinya, melainkan karena adanya peristiwa penting pada hari tersebut. Hal ini adalah sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja, misalnya memperingati hari kelahiran nabi, isra-mikraj, tahun baru hijriyah, karena berkaitan dengan peristiwa penting dalam perjalanan nabi sebagai rahmatan lil alamin.
Karena itu ada hari-hari yang penting bagi umat Islam, tapi tidak penting bagi umat lain. Ada zaman tertentu yang demikian penting bagi umat Islam, tapi tidak penting menurut kelompok atau umat yang lain. Semuanya tergantung bagaimana memaknai waktu dan peristiwa. (*)