Dalam hal ini memang sangat dibutuhkan iklim politik yang sensitif gender, untuk memastikan kuota 30 persen tersebut terpenuhi.
Selanjutnya.
"Jika kuota 30 persen sudah terpenuhi, maka PR selanjutnya adalah memastikan Perempuan yang duduk dalam posisi tersebut juga memiliki sensitivitas gender dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya," sebutnya.
Harapn di hari ibu, terkait apa perlu dibenahi generasi muda kalangan perempuan. Ia menitipkan pesan ke generasi perempuan. Kata dia, sangat menyadari bahwa untuk menjadi politikus atau pemimpin yang berhasil, ternyata tidak ada jalan bebas hambatan untuk.
Sebaliknya jalan tersebut bercabang-cabang, terjal dan berbatu. Namun kita bisa belajar dengan memahami bagaimana Perempuan dapat mempelajari berbagai dinamika politik selama ini.
"Dan mengambil sisi positifnya menjadi pembelajaran dalam mempraktikkannya pada masa kini dan yang akan dating," pesan Rosniaty Azis.
Ditambahkan, bagi generasi muda yang sekarang ini banyak dikenal sebagai GenZ yang memenuhi syarat sebagai pemilih, mereka adalah salah satu kelompok pemilih yang menjadi primadona peserta pemilu.
Karena selain jumlahnya yang besar, juga karena generasi muda dianggap dapat membawa ide-ide baru yang bisa mendorong perubahan.
Ia berharap, pada pemilu tahun 2024 ini, mereka tidak apatis dalam perilaku politik yang terjadi selama ini, harus menggunakan hak pilihnya alias tidak menjadi golput (golongan putih).
"Sebab keputusan politik yang mereka ambil akan ikut berpengaruh terhadap nasib bangsa ini 5 tahun kedepan, termasuk pada nasib Perempuan dan anak yang membutuhkan pemenuhan hak dan perlindungan," harapnya.
Sedangkan, pengamat politik UIN Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad memberikan ulasan bahwa jika melihat latar belakang hari ibu, sejarah mencatat dicetuskannya di Indonesia merupakan tonggak perjuangan perempuan untuk terlibat dalam upaya merebut kemerdekaan.
Mantan Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi itu menyebutkan, tahun 2024 bertepatan pemilu. Menjadi momentum bagi perempuan, sebagai motor penggerak keberhasilan pembangunan di masa mendatang.
"Tentu, perempuan dalam sektor politik juga menunjukkan perubahan-perubahan progresif ketika mereka terlibat hadir memimpin dan mengambil keputusan berdasarkan pengalaman-pengalaman konkrit perempuan dalam kehidupan sehari-hari," harapnya.
Dia menilai, dalam wacana budaya, sudah tidak perlu diragukan lagi, bahwa perempuan adalah garda penting untuk terlibat dalam berbagai kesempatan untuk meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik.
Apalagi, kata dia. UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memang telah mengamanatkan bahwa dalam menentukan komposisi di panggung politik harus memperhatikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan. "Namun realisasinya masih belum terlaksana maksimal," jelasnya.
Di tahun mendatang, perlu agenda-agenda seperti sosialisasi pendidikan politik perempuan akan terus dilakukan parpol. Ini adalah langkah yang penting untuk mengadakan lebih banyak kegiatan terkait perempuan dalam politik di masa depan.
Menurutnya, keterlibatan perempuan dalam panggung politik bukan sekadar jadi tim hore. Namun keberadaan mereka guna mewujudkan demokrasi yang lebih inklusif dan representatif.