10.967 Pemilih ODGJ di Sulsel

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) akan ikut menyalurkan hak pilihnya pada Pemilihan Umum 2024. Kriterianya yakni, pemilih tidak mengalami gangguan jiwa permanen dan tidak ada surat keterangan tidak bisa memilih.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI memperbolehkan pemilih kategori disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), memiliki hak suara pada pemungutan suara di 2024. Di Sulsel, sesuai data sebanyak 10.967 Pemilih yang mengidap gangguan jiwa atau ODGJ akan memilih pada 14 Februari 2024.

Anggota KPU Sulsel, Romy Harminto mengatakan, KPU Sulsel mencatat sebanyak 10.967 pemilih dengan disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), memiliki hak suara.

"Sesuai data difabel mental 10.968 orang. Sedangkan, disabilitas lain seperti fisik 23.911 orang, dan Intelektual 2.636 orang," kara Romy, Rabu (27/12/2023).

Dari data yang dihimpun media Harian Rakyat Sulsel, total 10.968 ODGJ yang akan menyalurkan hak pilih di Sulsel. Terbanyak di Kabupaten Bone yakni 1.107 orang. Kemudian disusul Kota Makassar memiliki 969 jiwa. Selanjutnya, Kabupaten Pinrang mencapai 689 ODGJ, serta Tana Toraja menghampiri dengan jumlah 688 orang. Sedangkan jumlah terkecil di Kabupaten Selayar 250 orang.

"Jadi, DPT ODGJ ada di angka 10.964. Yang paling tinggi di Kabupaten Bone, 1.107 orang," beber dia.

Mengenai mekanisme pencoblosan di TPS, Romy mengatakan tak bisa dijelaskan karena detail karena hal tersebut masuk pada wilayah teknis.

"Tidak pakai TPS khusus, tapi TPS umum. Ada regulasi yang begitu. Cuma kalau memang dianggap perlu pendampingan, maka didampingi. Kalau tidak, ya, biasa saja," katanya.

Namun, saat hari pencoblosan para ODGJ ini wajib memiliki surat rekomendasi dokter kejiwaan. Tentu saat pemungutan suara, petugas atau keluarganya, ODGJ itu didampingi oleh KPPS.

"Ada dokumen-dokumen dari rumah sakit. Jadi yang dampingi itu nanti KPPS-nya atau keluarga," imbuh dia.

Terkait, surat suara juga akan misalnya yang tuna netra itu biasa disiapkan braille, "Jadi kalau tuna netra akan disiapkan surat suara braille. Tapi perlakuan dibuatkan TPS khusus itu tidak ada, semua secara reguler saja," ujar dia.

Ketua KPU Sulsel, Hasbullah menuturkan, KPU wajib mendata dan mengakomodasi semua pemilih, karena setiap suara pemilih di Indonesia tidak boleh ada yang terlewatkan.

"Namun, khusus untuk ODGJ ini kami perbolehkan mencoblos, asalkan ada rekomendasi. Kami jalankan tugas semua warga negara bisa menyalurkan hak pilih," kata Hasbullah.

Dia mengatakan pemilih kategori ODGJ yang tidak kehilangan kemampuan untuk memilih berhak terdaftar sebagai pemilih pada Pemilu untuk mencoblos di TPS. Selama ada keterangan dari medis profesional untuk terdaftar sebagai pemilih.

KPU pusat kata dia, menyiapkan instrumen teknis terkait keterangan dari tenaga medis profesional mengenai kondisi ODGJ. Akan tetapi, kata dia, masih ditemui penafsiran berbeda dari ketentuan tersebut.

"KPU RI juga menjelaskan teknis keterlibatan masyarakat dalam pemilihan umum atau Pemilu 2024, khususnya pemilih yang mengidap gangguan jiwa atau ODGJ. Kalau dulu tidak diberikan hak pilih, tapi di undang-undang sudah direvisi bahwa tidak ada kategorisasi seperti itu lagi," ucap dia.

Sebelumnya, Komisioner KPU RI, Idham Holik membeberkan, kriteria ODGJ yang diperboleh nyoblos pada Pemilu 2024. Kriterianya yakni, pemilih tidak mengalami gangguan jiwa permanen dan tidak ada surat keterangan tidak bisa memilih.

"Pemilih yang menderita gangguan jiwa, dapat memperoleh hak memilih. Sepanjang tidak mengidap gangguan jiwa permanen," kata Idham.

Surat keterangan tersebut, Idham menjelaskan, dikeluarkan dari pihak rumah rumah sakit atau dokter yang mengurus ODGJ. Dijelaskan bahwa yang bersangkutan tidak mampu (atau bisa) memberikan suara di TPS.

Kemudian, Idham menegaskan, dalam Peraturan KPU (PKPU) juga terdapat pasal yang menyinggung pemilih ODGJ. Syarat sebagai pemilih, sebagaimana termaktub Pasal 4 Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2022, harus terpenuhi oleh pemilih yang menderita gangguan jiwa tersebut," ujar Idham.

"ODGJ bisa menggunakan hak pilihnya pada Pemilu 2024. Namun, ODGJ perlu pengawasan dari tenaga kesehatan atau ahli yang menjadi pengampunya," kata Idham.

Selain itu, kata dia, pemenuhan hak ODGJ dalam pemilu juga tertuang dalam putusan MK (Mahkamah Konstitusi). Tepatnya, pada amar putusan MK Nomor 135/PUU-XXIII/2015. Selama pemilih tidak mengalami gangguan jiwa permanen, Idham menjelaskan, ODGJ itu punya hak nyoblos di TPS. Kemudian, pemilih ODGJ tidak ada surat keterangan dia tidak bisa memilih.

"Dalam Amar Putusan MK Nomor 135/PUU-XXIII/2015. MK menyatakan bahwa Pasal 57 ayat (3) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," kata Idham.

Idham pun membeberkan, bunyi dari perubahaan UU tersebut. Yakni, tentang kriteria pemilih ODGJ yang diperkenankan menyalurkan suara pada Pemilu 2024.

"Sepanjang frasa 'terganggu jiwa/ingatannya' tidak dimaknai sebagai 'mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen. Menurut profesional bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum," ucap Idham

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Selatan ingin memastikan ODGJ telah terdaftar di dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

"ODGJ harus didata sebagai pemilih," kata komisioner Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad.

Saiful menyebutkan ODGJ terebut merupakan orang yang bukan sakit permanen, karena ada juga sakit yang biasa kambuh dan sehat kembali. "Yang tidak permanen, karena ada kemudian bisa sehat sehingga harus didata," ujar Saiful. "Pengalaman pemilu 2019, yang bisa memberikan hak pilih di TPS yakni memiliki surat keterangan dari dokter."

Direktur Politik Profetik Institute, Asratillah mengatakan saat ini harus menjernihkan terlebih dahulu bahwa apakah ODGJ atau orang yang mempunyai gangguan mental (sakit jiwa) atau penyandang disabilitas mental bisa disamakan saja dengan orang gila? atau sama dengan orang yang tidak memiliki kesadaran sama sekali?

"Karena secara medik apa yang disebut dengan gangguan jiwa memiliki spektrum yang cukup luas, walaupun ciri-ciri umumnya bisa ketahui seperti perubahan mood secara drastis, hingga sering terganggunya normalitas dalam menjalani kehidupan sehari-hari," ujar Asrartillah.

Selanjutnya, kata dia, secara hukum ODGJ atau penyandang disabilitas adalah orang yang menurut Kitab UU Perdata berada di bawah pengampuan.

"Namun terlepas dari itu setiap warga negara dijamin haknya untuk memilih dan dipilih, sebagaimana disebutkan oleh UU Kesehatan bahwa penderita gangguan jiwa punya hak yang sama sebagai warga negara," kata dia.

Selain itu, lanjut Asratillah, dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas juga telah diatur bahwa hak-hak politik penyandang disabilitas, antara lain hak untuk dipilih dan memilih.

"Dengan kata lain keputusan MK hanyalah upaya untuk mempertegas hak-hak penyandang disabilitas mental yang telah diatur oleh beberapa UU sebelumnya," sambung dia.

Cuma memang, kata Asratillah, mesti ada upaya kehati-hatian dari pihak penyelenggara agar ODGJ bisa menentukan pilihannya dalam situasi mental yang optimal menurut situasinya.

"Karena bagaimanapun ODGJ sangat rentan menjadi sarana intimidasi pihak tertentu, agar ODGJ mengarahkan pilihannya ke kandidat tertentu," imbuh dia. (suryadi-fahrullah/C)

  • Bagikan

Exit mobile version