MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Banyaknya kasus korupsi ditangani Kejaksaan yang tersangkanya divonis bebas saat menjalani proses persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Makassar menuai sorotan. Beberapa spekulasi muncul, mulai dari kualitas penyidik dalam mengusut perkara hingga kualitas jaksa penuntut umum (JPU) yang mendakwa terdakwa di pengadilan.
Tak hanya itu, perspektif hakim selaku pemutus perkara tersebut juga dipertanyakan. Apakah para pihak yang diberi kewenangan oleh negara itu memiliki pandangan yang sama dalam memberantas korupsi dan melihat korupsi sebagai kasus kejahatan luar biasa atau extraordinary crime?
Peneliti Anti-Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Ali Asrawi Ramadhan mengatakan masalah ini harus menjadi perhatian serius, utamanya bagi lembaga penegak hukum atau pihak-pihak yang diberikan kewenangan oleh negara dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Banyaknya terdakwa korupsi yang divonis bebas karena dinilai hakim tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana yang dituduhkan dalam dakwah jaksa atau penyidik harus dievaluasi.
"Pertama proses tindak pidana korupsi inikan melibatkan banyak pihak. Kalau memang penyelidikan dan penyidikan dari kepolisian, maka polisi, kemudian kejaksaan sebagai penuntut dan hakim sebagai pemutus, ini harus memiliki perspektif yang sama terkait korupsi adalah extra ordinary crime," kata Ali alias Ayie, Kamis (11/1/2023).
"Supaya masyarakat juga mengetahui extraordinary crime itu seperti apa. Termasuk di dalam kelembagaan ini (Polisi, Kejaksaan, Pengadilan/Hakim) juga harus punya perspektif yang sama bahwa korupsi itu kejahatan luar biasa," sambung dia.
Ayie mengungkapkan, banyaknya terdakwa korupsi yang divonis bebas tidak terlepas dari kualitas pembuktian penyidik atau jaksanya. Sehingga masalah tersebut kata dia penting untuk dievaluasi agar terduga pelaku korupsi yang digiring ke meja hijau untuk disidangkan benar-benar siap, termasuk pembuktian.
"Kalau untuk kasus vonis bebas, yang perlu diperbaiki adalah sejauh apa kemudian kualitas pembuktian jaksanya. Kemudian apakah hakim juga turut andil. Kita bisa melihat proses pembebasan beberapa terdakwa dari putusan hakim, apakah putusan hakim itu memang benar-benar memutus sesuatu secara objektif dengan beberapa pertimbangan hukum yang masuk akal atau tidak," ucap Ayie.
Termasuk Komisi Yudisial (KY) juga disebut harus ambil andil dalam putusan hakim pengadilan tindak pidana korupsi itu. KY diminta ikut turun tangan memantau putusan terdakwa kasus korupsi di pengadilan.
"Jadi semuanya ini butuh dikoreksi. Termasuk Komisi Yudisial, ini kan bisa melihat dan bagaimana mendorong agar pengadilan itu bersih. Tapi, nyatanya beberapa persidangan, Komisi Yudisial tidak banyak terlibat dalam pemantauan kasus korupsi," ujar dia.
Pengamat hukum dari Universitas Hasanuddin, Profesor Amir Ilyas mengatakan, mengenai putusan bebas atas perkara-perkara korupsi tidak boleh secara langsung mengambil kesimpulan. Sebab, hal tersebut akan mengundang pesimisme bagi masyarakat atas wajah penegakan hukum saat ini.
Menurut dia, hal yang harus dipahamkan kepada masyarakat atau publik yaitu harus ada penghargaan atas seluruh putusan-putusan pengadilan.
"Sebagaimana asas yang dipahami bersama res judicata provitae habitur. Putusan hakim harus selalu dianggap benar sampai ada putusan lain atau di atasnya yang menganulirnya," tutur Amir.
Apalagi menurutnya, dalam kasus korupsi yang terdakwanya bebas masih ada wewenang jaksa penuntut umum untuk mengajukan kasasi atas putusan Pengadilan Tipikor yang membebaskan terdakwa. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 244 KUHAP Juncto Putusan MK Nomor 114/PUU-X/2012.
Dia berharap, publik tidak boleh ikut-ikutan memperburuk dan menjatuhkan wibawa pengadilan. Apa yang sudah diputus oleh hakim pengadilan demikianlah hukumnya sebab mereka dinilai bekerja secara profesional dan independen.
"Pengadilan itu dibentuk bukan juga untuk membuat semua terdakwa pasti bersalah, tetapi menemukan keadilan, soal salah atau tidaknya terdakwa," kata Amir.
"Hukum (KUHAP) memberikan legitimasi kepada hakim-hakim pengadilan, menyatakan seseorang bersalah, tidak bersalah. Makanya ada amar putusan terbukti perbuatan terdakwa (terpidana), ada amar putusan bebas, dan ada amar putusan lepas," sambung dia.
Perangkat hukum juga disebut disediakan sebagai legalitas hakim, sehingga hakimnya tidak selalu disalahkan jika ada terdakwa korupsi yang divonis bebas. Kata Ilyas, publik jangan selalu apriori dan prejudice terhadap putusan-putusan bebas kasus korupsi.
Semua pihak disebut tidak boleh dengan serta-merta mengatakan bahwa itu adalah putusan sarat dengan nuansa KKN (kolusi, korupsi, nepotisme).
"Dengan pekerjaan saya sebagai akademisi hukum, kalau ada putusan-putusan bebas, kemudian dianggap ada kejanggalannya, adalah lebih baik dengan kita melakukan eksaminasi terhadapnya dengan melibatkan para ahli hukum di perguruan tinggi. Saya kira kajian demikian lebih relevan daripada tindakan kita selama ini, selalu menganggap putusan hakim salah, keliru, tidak pro pemberantasan korupsi, padahal tidak dengan melalui pengkajian yang lebih mendalam," imbuh dia.
Sementara itu, Asisten Intelijen Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan Ardiansyah menolak mengomentari banyaknya perkara korupsi yang diusut kejaksaan tapi terdakwanya bebas di pengadilan. (isak pasa'buan/C)