Oleh: Aidir Amin Daud
RAKYATSULSEL - Perjalanan pilpres dan pemilu bisa gegap gempita. Namun ada sudut-sudut lain di negeri ini yang ternyata makin sepi. Terutama pusat-pusat perbelanjaan di tanah air.
Fenomena yang selalu disampaikan media adalah apa yang dialami Pasar Tanah Abang. Tentu saja beberapa pusat belanja lainnya yang ada di kota-kota lain di Indonesia. Pengecualian tentunya diberikan ke mal-mal yang menghadirkan aneka ragam pusat kuliner.
Pasar Tanah Abang dikenal sebagai pusat grosir tekstil dan produk tekstil. Tak hanya memasok barang ke penjuru wilayah Indonesia, bahkan pasar ini sempat dijuluki pusat perbelanjaan terbesar se-Asia Tenggara.
Kini dikabarkan pasar “raksasa” ini mengalami kondisi tak mengenakkan. Hampir semua area, kini lengang. Lalu lalang pembeli kini jarang, tak seperti dahulu, bahkan sampai bersenggolan di gang-gang toko. Tak hanya Tanah Abang, sepertinya kondisi itu juga dialami seluruh pusat belanja di negeri ini.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, kondisi di Pasar Tanah Abang saat ini salah satu bukti pusat-pusat perbelanjaan di Tanah Air mengalami situasi berbeda.
Apa dan mengapa kondisi di atas terjadi? Bagaimana mengatasinya? Banyak yang menyatakan para pedagang di Tanah Abang dan pasar lainnya di Indonesia, saat ini bersaing dengan seluruh dunia.
Bersaing dengan para “pedagang online” yang dalam hitungan menit siap bertransaksi dengan konsumennya, dengan kepastian harga dan bisa berlangsung dalam 24 jam setiap hari. Bisa dilaksanakan dari ruang mana saja, di dalam kamar tidur hingga kendaraan. Bahkan dalam persiapan boarding di atas pesawat pun.
Sekarang, dengan online, semua bisa ditembus. Artinya, pembeli dari Aceh-Papua tak perlu lagi ke Tanah Abang. Duduk di rumah, masing-masing. Pedagang juga tak harus ke pasar, cukup menawarkan produknya dari seluruh dunia lewat software yang tidak memerlukan ruang sedikit pun.
Mungkin karena itulah membuat kita jelas bahwa pusat perbelanjaan maupun mal-mal tersebut sepi terutama bukan karena kalah bersaing dengan belanja online. Karena, setelah PPKM dicabut, orang-orang kini ke mal bukan untuk berbelanja, melainkan untuk menikmati pengalaman dan interaksi sosial. Kegiatan yang sempat dibatasi dengan PPKM.
Kita sama maklumi — situasi pandemi beberapa tahun lalu sudah mengubah kebiasaan belanja seseorang. Saat pandemi, kebutuhan berbelanja relatif sudah bisa dipenuhi dengan belanja online.
Karena itu, pengelola mal harus merespons ini, dan memfasilitasi kebutuhan masyarakat untuk berinteraksi sosial di mal. Tujuan utama orang ke mal sekarang bukan belanja. Interaksi sosial.
Harus ada re-concept atas kondisi mall dan pusat perbelanjaan. Titik pemanfaatan tenant harus diubah.
Hal lain yang mungkin harus dilakukan adalah adanya pengaturan aturan yang adil bagi pedagang offline dan online.
Pedagang offline mulai dari mengurus perizinan sudah sangat berat, tetapi kalau online, sepertinya bisa lebih mudah urusan izinnya. Termasuk perbedaan dalam menghadapi kejaran wajib membayar pajak.
Apalagi sama kita ketahui memang ada peralihan perilaku belanja masyarakat, tecermin dari data Bank Indonesia (BI) yang mencatat transaksi e-Commerce di Indonesia mencapai Rp453,75 triliun, sepanjang tahun lalu.
Kita tak bisa mundur lagi untuk menghindari tren belanja online ini. (**)