Penulis: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Islam adalah agama yang melanjutkan tradisi Nabi Ibrahim Alaihissalam. Misalnya ibadah haji dan kurban yang masih terus dilaksanakan umat Islam. Mengakhiri salat pun umat Islam membaca salawat selain kepada Nabi Muhammad Saw. juga kepada Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Al-Qur'an menceritakan perjalanan hidup Nabi Ibrahim, di antaranya ketika Allah bertanya kepada Nabi Ibrahim tentang tujuan hidup. “Fa aina tazhabun, lalu, akan ke mana kamu pergi?” (QS. Al-Takwir/81 : 26). Al-Qur'an menuturkan jawaban Ibrahim: “Sesungguhnya aku menuju kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku” (QS. Al-Saffat/37: 99).
Pertanyaan Tuhan kepada Nabi Ibrahim berkaitan dengan ke mana arah yang akan dituju, termasuk kepada kita semua berkaitan dengan tujuan akhir perjalanan hidup seseorang yang sedang berada di persimpangan jalan.
Berupa orientasi hidup termasuk karier, kedudukan, popularitas, dan kekayaan. Hal ini sering kali mengaburkan perjalanan hidup seseorang yang menyebabkan mereka terpasung pada semua yang bersifat sangat sementara, bukan tujuan yang sebenarnya yang ingin seseorang dalam hidup.
Berulang-ulang Allah mengingatkan kita untuk mengikuti jalan orang-orang yang telah kembali kepada-Nya, yakni jalan para Nabi dan Rasul dan orang-orang saleh sepanjang sejarah. Salah satu jalan yang ditempuh adalah dengan cara mensucikan diri dan membersihkan hati.
Proses pensucian diri dalam Islam disebut Tazakka yang bermakna menyucikan diri dan juga bermakna tumbuh. Mereka yang akan menjumpai Tuhan adalah mereka yang telah menyucikan diri dan hati mereka, bukan dengan predikat yang disandang berupa popularitas, kedudukan, dan kekayaan.
Dalam Islam pertumbuhan seseorang diukur dari tingkat penyucian dirinya. Semakin suci dan bersih seseorang, semakin tinggi pulalah derajatnya.
Abraham Maslow salah seorang psikolog humanistik juga mengenal hal ini dengan menyebut bahwa puncak pertumbuhan manusia adalah pertumbuhan kepribadiannya yang disebut aktualisasi diri atau self actualization. Islam menyebutnya dengan tazakka. “Sungguh beruntung mereka yang menyucikan diri, mengingat nama Tuhannya dan mendirikan salat”. (QS. Al-A’la/87 : 14-15). Upaya untuk melakukan penyucian diri adalah dengan meninggalkan egoisme dan keakuan kita.
Orientasi pikiran kita dalam hidup ini selalu hanya dikaitkan dengan kepentingan pribadi semata. Termasuk dalam beribadah juga dikaitkan dengan kepentingan diri kita.
Menunaikan salat dengan mengharap pahala dan terhindar dari neraka, bersedekah agar kita terhindar dari bencana semuanya berorientasi hanya untuk keselamatan diri kita. Mereka yang beribadah dengan tidak meninggalkan kepentingan dirinya, sebagai orang yang mengambil Tuhan selain Allah. Mereka lebih mencintai dirinya dari pada Tuhan-Nya.
Alkisah, ketika Ibrahim Alaihissalam akan meninggal dunia. Malaikat Izrail datang untuk mencabut nyawanya. Nabi Ibrahim berkata: mana mungkin Sang Khalik mematikan kekasih-Nya?. Allah lalu berfirman: Bagaimana mungkin seorang kekasih tak mau berjumpa dengan yang mengasihinya?
Mendengar hal ini, Ibrahim berkata “kalau demikian ambil nyawaku sekarang juga”. Ibrahim dikenal dengan Al-Khalil (kekasih Tuhan), karena dua sebab. Pertama, Ibrahim rela mengorbankan sesuatu yang sangat dicintai yakni putranya Ismail, ketika Allah menguji Ibrahim dalam peristiwa kurban dan Ibrahim berhasil menghadapinya. Ismail kemudian diganti dengan seekor binatang sembelihan.
Kedua, Ibrahim dalam sejarahnya tidak pernah menikmati rezeki yang diberikan Allah seorang diri. Bila tiba waktu makan, Ibrahim senantiasa mengajak orang lain untuk makan bersama sekecil apa pun rezeki yang diberikan Allah kepadanya.
Ibrahim memperoleh gelar Al-Khalil karena telah berhasil meninggalkan ego dan keakuannya. Menuju kepada yang diinginkan setiap manusia yakni kembali kepada Allah dengan ridho dan diridhoi dengan cara menyucikan diri. (*)