MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Asosiasi Usaha Hiburan Makassar (AUHM) mengeluhkan pengenaan pajak hiburan di Kota Makassar yang dinilai rancu dan tidak tepat sasaran. Sebab, dalam penetapannya masih terkesan keliru menafsirkan.
Ketua AUHM, Zulkarnain Ali Naru menjelaskan selama ini penetapan pajak hiburan pada usaha bar, diskotik dan kelab malam itu cenderung menghitung dari total penjualan makan, minum dan minuman beralkohol. Padahal, menurut dia, minuman beralkohol masuk pada pajak restoran.
Sedangkan, pajak hiburan untuk usaha diskotik, bar dan kelab malam meliputi 'Pajak Tontonan'. Di,mana obyek yang dikenakan untuk pajak hiburan adalah Tiket (Harga Tanda Masuk) termasuk minumum charge/Firs Drink Charge (FDC), Food dan Baverage (F&B), Charge VIP Box, Charge Sofa dan Table, kartu keanggotaan (Membership), Service Charge, serta Charge Room.
"Jadi selama beberapa tahun ini, dapat saya katakan Bapenda sangat keliru menetapkan pajak hiburan, bagi usaha hiburan yang menjual minuman beralkohol dengan pengenaan tarif pajak sebesar 35 persen (tarif pajak lama),"kata Zul, sapan akrabnya, Selasa (23/1/2024).
Maka dari itu, Zul meminta agar pihak Bapenda bisa turun langsung ke usaha-usaha hiburan melakukan visitasi dan mengkaji ulang potensi pajak hiburan, utamanya usaha-usaha hiburan yang menerapkan penjualan tiket atau menggunakan minimum charge FDC, Food dan Baverage (F&B), Charge VIP Sofa dan Table, Charge Room dan sejenisnya.
" Jadi, ini harus kita luruskan mulai dari sekarang. Jangan lagi ada 'kesalahan fatal' sehingga para pengusaha dirugikan karena diwajibkan membayar pajak hiburan dari total hasil 'penjualan akhir', termasuk minuman beralkohol (minol) dikenakan sebesar 35 persen beserta hasil penjualan makanan dan minuman non minol pada usaha hiburan. Padahal minol itu adalah Pajak Restoran yang hanya wajib dibayar pajaknya sebesar 10 persen," lanjut Zul.
Sehingga, Zul berharap agar pihak Bapenda bisa menata ulang dengan menetapkan kewajiban 'satu usaha wajib miliki dua jenis pajak yang berbeda obyek'. Artinya, tiap usaha hiburan baik usaha Diskotik, Kelab Malam dan Bar (Pub) hingga Karaoke wajib memiliki dua jenis pajak, yakni Pajak Hiburan (pajak tontonan) dan Pajak Restoran (pajak makanan dan minuman).
"Ini setidaknya bisa juga bisa menjadi solusi saat terjadi polemik seperti sekarang, ikhwal protes kenaikan pajak hiburan yang tinggi. Disamping itu, dengan pengenaan dua jenis pajak tersebut, Bapenda tentunya memiliki pontensi pajak baru dan bisa mencegah kebocoran pajak hiburan, disamping bisa lebih efektif mendongkrak pemasukan pajak restoran pada usaha-usaha hiburan," paparnya.
Sebaliknya, lanjut Zul, bagi para pengusaha, tentunya mereka juga bisa lebih ringan menerapkan kewajibannya terhadap para konsumen selaku subyek pajak karena aturannya sudah cukup jelas.
"Termasuk bagi usaha karaoke, yang selama ini dikenakan pajak hiburan 25 pesen (tarif pajak lama) itu hanya pemakaian room karaokenya. Sedangkan untuk pajak restorannya hanya senilai 10 persen. Jangan lagi digabung langsung seperti selama ini, kasihan pengusahanya, jelas dirugikan karena makanan dan minumannya praktis dikenakan pajak 25 persen dari total penjualan akhir," tegas Zul.
Sementara itu, Kepala Bapenda Kota Makassar, Firman Hamid Pagarra mengatakan dalam penerapan wajib pajak harus mengikuti jenis usaha atau jenis pajak yang terdaftar. Misalnya, usaha hiburan atau terdaftar dalam jenis pajak hiburan, tentunya harus mengikuti kebijakan sesuai yang telah diatur dalam pajak hiburan .
"Jika usahannya atau wajib pajaknya hiburan maka semua pembayar atau omset yang diterima dikenakan pajak hiburan tidak bisa dipisah-pisahkan," ucap Firman.
Pihaknya menegaskan bahwa dalam penerapan wajib pajak tidak dapat dilakukan secara terpisah dengan jenis pajak yang lain dalam satu jenis usaha.
"Tidak bisa dia buka jenis usaha hiburan tapi makan minumnya mau dikenakan pajak makan minum," terang Firman. (Shasa/B)